Pages

Minggu, 09 Juni 2013

PEMIKIRAN HAMKA TENTANG PERKAWINAN MONOGAMI DAN RELEVANSINYA TERHADAP KEUTUHAN KELUARGA MUSLIM (Studi terhadap Tafsir Al-Azhar)



A.  Pendahuluan
Pernikahan adalah suatu ikatan janji setian antara suami dan istri yang di dalamnya terdapat suatu tanggung jawab dari kedua belah pihak. Janji setia yang terucap merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk diucapkan. Perlu suatu keberanian besar bagi seseorang ketika memutuskan untuk menikah. Pernikahan yang dilandasi rasa saling cinta, kasih sayang, menghormati, pengorbanan merupakan suatu anugerah bagi setiap pasangan di dunia ini. Oleh karena itu, penting bagi setiap pasangan memahami hal-hal yang terkait dengan pernikahan.
Dalam Islam, pernikahan adalah salah satu asas pokok kehidupan yang paling utama   dalam pergaulan masyarakat yang sempurna. Banyaknya ayat al-Quran dan hadis tentang pernikahan/perkawinan menjadi bukti bahwa sebuah perkawinan adalah hal yang sacral dan tidak hanya melibatkan pasangan yang akan berkomitmen untuk membina rumah tangga, juga melibatkan seluruh keluruh keluarga besar dari kedua belah pihak.[1] Selain itu, pernikahan merupakan bagian dari karunia Allah SWT. kepada makhluk karena melalui pernikahan mereka dikaruniai anak dan cucu sebagaimana firman Allah SWT:
Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah. (Q.S. An-Nahl: 72)

Pernikahan juga merupakan penerimaan hubungan pasangan yang diharapkan dapat stabil dan bertahan. Kestabilan pernikahan sangat berhubungan dengan kebahagiaan pernikahan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pernikahan yang bahagia adalah pernikahan yang dapat bertahan dan stabil tanpa perceraian serta bentuk lain yang mengganggu kestabilan dan kebertahanan pernikahan itu sendiri seperti percekcokan akibat suami melakukan poligami.
Studi yang dilakukan oleh Olson menyebutkan bahwa hubungan antara kebahagiaan dengan kestabilan dalam pernikahan menunjukkan bahwa bentuk tersebut mempengaruhi kelangsungan pernikahan itu sendiri. Peluang untuk terjadi perceraian ataupun penurunan kebahagiaan pernikahan dapat dikarenakan lamanya pernikahan itu sendiri. Seiring berjalannya waktu, pernikahan yang telah melampaui (masa lebih lama), memiliki kekuatan dan mampu mempengaruhi kebahagiaan pernikahan itu sendiri.[2] Olson juga mengatakan terdapat pengaruh positif dari pernikahan yang dilakukan, yaitu: pertama, orang yang menikah hidup lebih lama daripada orang yang tidak menikah atau orang yang bercerai. Orang yang menikah dapat hidup lebih lama sebab mereka memliki haya hidup yang lebih sehat. Berdasarkan hasil penelitian, 40% orang yang menikah akan bahagia dengan kehidupannya, sedangkan hanya 18% orang yang bercerai dan 15% mereka yang berpisah, serta 22% janda yang merasa bahagia. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Olson bahwa “Not being married can be hazardous to your health” (tidak menikah bisa beresiko bagi kesehatan anda).
Kedua, pasangan yang menikah lebih merasakan kepuasan dalam kehidupan seksualnya, baik secara fisik maupun emosional. Ketiga, pernikahan dapat meningkatkan karier dan kondisi financial keluarga. Alasan tersebut dikarenakan bahwa laki-laki yang menikah, lebih focus dalam mencari uang untuk kehidupan keluarganya. Selain itu, dukungan dari istri juga dapat meningkatkan karier suami.[3]
Pernikahan memiliki beberapa bentuk dan asas jika ditinjau dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya. Hal ini dikarenakan setiap masyarakat memiliki beragam bentuk budaya dengan norma yang berbada-beda. Norma atau nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat juga menyangkut pada hukum yang berlaku dan nilai-nilai dalam agama yang dianut.[4] Dalam masyarakat Muslim Indonesia, pemahaman tentang asas pernikahan dalam Islam merupakan polemik. Hamka misalnya, adalah ulama yang berpikiran bahwa pernikahan yang ideal adalah monogami saat banyaknya praktek poligami di masanya.[5] Beliau mengkritik praktek poligami karena sebuah keluarga sakinah sulit dicapai jika suami berpoligami.[6]
Bagi mereka yang melakukan poligami, alasan normative dalam Surat An-Nisa’: 3 yang selalu dijadikan pembenar atas sikap mereka.

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja… (QS. An-Nisa’: 3)

Selanjutnya Hamka menafsirkan ayat di atas sebagai berikut:
Dengan ujung ayat ini kita mendapat kejelasan, bahwasanya yang lebih aman dan terlepas dari ketakutan tidak akan adil hanyalah beristri satu. Kalau kita beristeri satu saja, lebih hampirlah kita kepada ketenteraman. Tidak akan bising dan pusing oleh mempertanggungkan beberapa perempuan yang membawa kehendak mereka sendiri-sendiri. Padahal masing-masing meminta supaya dia diperhatikan. Dan minta pula disamakan. Soal itu sajalah yang akan memusingkan kepala setiap hari. Lebih-lebih kalau masing-masing diberi pula anugerah banyak anak oleh Allah. Kalau diri kaya mungkin semua anak itu dapat diasuh dengan baik, tetapi kalau awak miskin, takut kalau-kalau semua anak itu tidak akan sempurna pendidikannya. Lebih memusingkan lagi kalau tiap-tiap anak menurut yang ditanamkan oleh ibunya. Sehingga anak yang dating dari satu ayah menjadi bermusuhan. Kita artikan an la ta’ulu dengan agar kamu terhindar dari kesewenang-wenangan. Sewenang-wenang artinya sudah bertindak menurut kehendak sendiri saja, tidak peduli lagi, masa bodoh. Ini lebih celaka![7]

Dapat dipahami bahwa Hamka melihat asas perkawinan dalam Islam itu adalah monogami. Monogami adalah seorang yang mempunyai satu isteri.  Dalam UU No. 1 Tahun 1974, asas monogami tercantum dalam pasal 3 ayat 1 yaitu: “Pada asasnya, dalam suatu perkawinan, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri”.[8] Dengan demikian seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.  Dengan mempunyai satu isteri, diharapkan dengan mudah dapat menetralisasi sifat cemburu dan iri hati dalam kehidupan berumah tangga yang monogamis.
Asas monogami yang terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 ini tidak berlaku mutlak. Bagi seorang yang ingin melakukan poligami, dia wajib mengajukan permohonan secara tertulis disertai dengan alasan-alasan.
Pasal ini dibangun atas alasan bahwa perkawinan poligami dalam prakteknya berdampak negatif. Poligami yang disyariatkan sungguh menyakitkan istri tua. Praktek ini juga jauh dari semangat keadilan sebab kerap kali keadilan yang diharapkan tak kunjung datang. Disamping poligami banyak mengakibatkan terlantarnya istri dan anak. Dari alasan ini tampaknya tidak sedikit ulama beranggapan bahwa secara kontekstual ayat ini sudah tidak relevan lagi dengan zaman.
Hamka mempertegas pandangannya tentang asas monogami dalam perkawinan Islam sebagai berikut:
Beristeri satu adalah cita-cita yang luhur tinggi dan murni (ideal). Memang itulah yang kita tuju. Kita berdoa moga-moga pribadi kita dapat mencapainya, dengan tidak menutup mata betapa hebatnya perjuangan batin tiap-tiap laki-laki yang beristeri satu orang itu, terutama pada zaman mudanya. Maka orang-orang yang memegang teguh ajaran Islam dan mengerti filsafatnya, tidaklah pernah merasa adasatu peraturan yang menghalanginya menikah lagi. Tetapi setelah dibawanya berfikir tentang keadilan, tentang tanggungan mendidik anak dan segala resikonya, tidaklah jadi dia menikah lagi, sampai akhirnya hari tua ditempuhnya dengan selamat, sampai menyaksikan anak-anak yang telah dewasa, dan sampai tembilang penggali kuburlah yang memisahkannya dengan isteri yang satu itu.
Selain itu menurut mereka jumlah kaum laki-laki dan perempuan sekarang berbanding jauh jika merujuk ke Badan Statistika Nasional yaitu jumlah kaum pria di Jakarta misalnya adalah 1:40. Hal ini tentunya mengisyarakatkan bahwa sebenarnya poligami membawa ruh keadilan terhadap wanita secara universal. Apalagi satu hal yang tak diragukan bahwa kehidupan sebagaian kaum wanita tanpa suami lebih besar bahayanya. dari pada kehidupan mereka.
Dari latarbelakang di atas timbul masalah utama yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana pemikiran Hamka tentang asas perkawinan dalam Islam dan relevansinya terhadap keutuhan keluarga Muslim?. Secara terperinci, rumusan masalah tersebut dapat disusun dalam daftar pertanyaan sebagai berikut: pertama, bagaimana pemikiran Hamka tentang asas perkawinan dalam Islam?, kedua, apa latarbelakang pemikiran Hamka tentang asas perkawinan dalam Islam?, dan ketiga, bagaimana relevansi pemikiran Hamka tersebut terhadap keutuhan keluarga Muslim?
Dalam penelitian ini, yang dipergunakan adalah metode sejarah, yaitu berusaha mengungkapkan pemikiran seorang tokoh yang dalam hal ini adalah Hamka.[9] Selain itu juga, penelitian ini akan mengacu pada data-data hasil rekaman masa lampau untuk diuji dan dianalisis secara kritis.[10] Selanjutnya penelitian tentang Hamka yang pernah dilakukan di antaranya adalah: penelitian  yang ditulis oleh Triyana Harsa yang kemudian dipublikasikan dalam bentuk buku yang berjudul Takdir Manusia dalam Pandangan Hamka: Kajian Pemikiran Tafsir Al-Azhar. Tulisan tersebut memfokuskan pandangan Hamka tentang takdir Manusia. Penelitian lain adalah karya Rosalina yang berjudul Konsep Perempuan dalam Pemikiran Hamka: Studi Tafsir Al-Azhar. Hasil penelitian itu mengungkapkan bahwa posisi perempuan sebenarnya sama dengan laki-laki ditinjau dari nas-nas yang ada. Kedua penelitian tersebut memang mengemukakan pemikiran Hamka dalam Tafsir Al-Azharnya, namun sama sekali belum menyinggung pemikiran Hamka tentang asas perkawinan.

B.  Riwayat Hidup Hamka
Tokoh yang tengah dikaji ini bernama Abdul Malik, lahir di sebuah kampung yang bemama Tanah Sirah desa Nagari Sungai Batang di tepi Danau Maninjau Sumatera Barat, pada tanggal 13/14 Muharram 1326 H yang bertepatan dengan 16/17 Februari 1908 M. Ayahnya bernama Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah dan ibunya bernama Safiah.[11] Setelah menunaikan ibadah haji, maka nama lengkap tokoh yang dibahas ini adalah Haji Abdul Malik Ibn Abdul Karim Amrullah yang lebih sering disingkat  menjadi HAMKA (Dalam kajian ini selanjutnya ditulis Hamka).
Ayah Hamka, Haji Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul adalah  seorang  Ulama terkenal yang membawa paham­-paham pembaruan Islam di Minangkabau. Bersama Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Taher Jalaluddin, Syaikh Muhammad Djamil Djambek dan pembaharu lainnya, ayah Hamka mempelopori gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau. Karena pembaharuannya, maka gerakan ini dikenal dengan kelompok kaum muda, sekaligus untuk membedakannya dengan kaum tua, yaitu mereka yang tetap berpegang pada adat istiadat dan tradisi setempat. Para pembaharu ini menyeru kepada para pemeluk Islam untuk kembali kepada ajaran agama yang bersih dari bid'ah, takhigul dan berbagai penyimpangan yang ditolerir atau dilakukan Kaum Tua serta menentang taklid dan khurafat.[12] Karena gerakannya, mirip dan terinspirasi oleh gerakan pembaharuan ala Wahabiyah di Arab Saudi yang dipelopori oleh Muhammad ilmi 'Abdul Wahab, makes gerakan pembaharuan di Minangkabau ini akhirnya juga dikenal sebagai Gerakan Wabab.[13]
Di tengah-tengah pertentangan antara Kaum Muda dan Kaum Tua inilah Hamka lahir dan dibesarkan. Pada usia enam tahun, Hamka kecil dibawa ayahnya ke Padang Panjang, sewaktu berusia tujuh tahun ia dimasukkan ke Sekolah Desa dan malamnya belajar mengaji al-Qur'an pada ayahnya sendiri hingga tamat. Dari tahun 1916 sampai tahun 1923 dia telah belajar agama pada sekolah-sekolah Diniyah  School dan Sumatera Thawalib  di Padang Panjang dari Parabek. Di antara guru-gurunya waktu itu adalah Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdulhamid dan Zainuddin Lebay.[14]
Pada usia 15 tahun, yaitu pada tahun 1924 beliau merantau ke Pulau Jawa tepatnya di Yogyakarta dan mulai mencermati pergerakan Islam yang waktu itu sedang bergelora. Ia mendapat kursus tentang pergerakan di Indonesia dan H.O.S. Cokroaminoto,                      H. Fachruddin, R.M. Suryopranoto dan iparnya sendiri AR. St. Mansyur yang waktu itu ada di Pekalongan. Pada masa-masa inilah Hamka banyak membaca buku-buku terbitan Balai Pustak. Tahun 1927, Hamka pergi ke tanah suci Mekkah atas kemauannya sendiri, sambil menjadi koresponden dan harian "Pelita Andalas" di Medan bertujuan untuk menggali dan mempelajari Islam sampai ke akar-akarnya sekaligus menunaikan ibadah haji. Sepulangnya dari Mekkah, beliau telah berusia 21 tahun dan menikah dengan Siti Rahma. Dia juga menulis di majalah "Pembela Islam" Tanjung Pura (Langkat), dan sebagai pembantu dari "Bintang Islam" dan "Suara Muhammadiyah" Yogyakarta.
Pengalaman dalam menunaikan ibadah haji rupanya memberi ilham yang sangat kuat bagi Hamka dan kesemuanya itu nantinya dituangkan dalam roman pertamanya yang berjudul "Di Bawah Lindungan Ka'bah". Kemudian pada tahun 1928 keluarlah buku romannya dalam bahasa Minangkabau, bernama "Si Sabariyah". Waktu itu pula dia memimpin majalah "Kemajuan Zaman" yang terbit hanya beberapa nomor. Dalam tahun 1929 keluarlah buku-­bukunya, antara lain: Agama dan Perempuan; Pembela Islam; Adat Minangkabau dan Agama Islam; Kepentingan Tabligb; dan Ayat-ayat Mi'raj.[15]
Pada tahun 1932, ketika pindah untuk mengajar di Makasar, Hamka turut aktif dalam tulis menulis, sehingga terbit majalah AI-Mabdi. Pengenalan Hamka terhadap masyarakat Makasar  atau  Bugis, memberikan bahan cerita yang kemudian dijalinnya dengan indah dalam roman kedua yang berjudul "Tenggelamnya Kapa1 Van der Wijck". Masih pada tahun yang sama, Hamka pergi ke Medan dan di dalam kesempatan ini nantinya melahirkan novel yang berjudul "Merantau ke Deli. Di Medan bersama kawan-kawannya, Hamka juga berhasil menerbitkan majalah mingguan Islam yang mencapai puncak kemasyhuran sebelum perang, yaitu. "Pedoman Masyarakat dan beliau menjadi pimpinannya setelah setahun diterbitkan, mulai tahun 1936 sampai tahun 1943.[16] Di jaman itulah banyak diterbitkan karangan Hamka  majalah tersebut, baik dalam disiplin ilmu agama, filsafat maupun tasawuf, yang berbentuk cerita pendek, novel dan roman.
Setelah pecah revolusi, Hamka pindah ke Sumatera Barat, dan di sana beliau mengeluarkan beberapa buku yang amat menggemparkan seperti Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Mengbadapi Revolusi, Negara Islam, Muhammadiyah Melaka Tiga Zaman dan lain-lain. Pada tahun 1950 beliau pindah ke Jakarta, di sana ia juga aktif dalam menulis dan mengarang buku seperti Kenang-kenangan Hidup, Perkembangan Tasawuf  dari Abad ke Abad.
Reputasinya sebagai seorang Ulama dan sastrawan telah diakui baik secara nasional maupun internosional.[17] Hal ini dibuktikan dengan diterimanya berbagai penghargaan, baik dan lembaga-lembaga dalam negeri maupun luar negeri. Lembaga dalam Negeri yang telah memberikan gelar "Profesor"  kepadanya adalah Universitas Mustofo Beragama di Jakarta. Dan pada tahun 1958, atas inisiatif bekas Duta Besar Mesir untuk Indonesia, Sajid Ali Fahmi al-Amrousi, Hamka diundang pemerintah Mesir dan mendapat kehormatan untuk berpidato dan dalam pidatonya yang berjudul "Pengaruh Muhammad Abdub di Indonesia", dia dianugerahi hadiah gelar "Doctor Honoris Causa" oleh Universitas Al-Azhar Mesir.[18] Sejak pemberian gelar itu Hamka berhak memakai titel "Dr" di pangkal namanya. Tahun 1974, Hamka juga mendapat gelar "Doctor Honorir Causa" di Universitas Kebangsaan Malaysia.
Penyakit yang menggerogotinya, diabetes, dan tekanan darah tinggi, akhirnya menghantarkan Hamka kepada Sang Pencipta. Tercatat, Buya Hamka tepat pada pukul 10.41 hari Jumat, tanggal 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun 5 bulan, wafat dengan tenang di Rumah Sakit Pertamina Jakarta. Dan sampai akhir hayatnya beliau masih dalam kedudukannya sebagai Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah.[19] Demikianlah Hamka sampai akhir hayatnya tetap kokoh sebagai ulama sekaligus sastrawan yang memiliki andil yang besar dalam dunia ilmu pengetahuan dan agama di bumi Indonesia ini khususnya dan dunia Intemasional pada umumnya.

C.  Selayang Pandang Tafsir Al-Azhar
Adanya kehidupan yang bervariasi di negara yang berpenduduk Muslim lebih besar jumlahnya dari penganut agama lainnya, sedangkan mereka hendak memahami kandungan yang ada dalam al-Qur'an secara lebih mendalam, maka Hamka berusaha memberikan jalan untuk sampai kepada tujuan tersebut. Dengan daya upaya dalam mendekati maksud ayat, menguraikan makna dari lafaz bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, Hamka mensosialisasikannya dalam kitab tafsirnya yaitu "Tafsir Al-Athar".[20]
Beragam corak dan latar belakang dari murid-murid dan anggota jamaah yang menjadi makmum di belakangnya waktu Hamka menjadi imam shalat, turut menjadi pertimbangan Hamka dalam berfikir dan berkarya sehingga nantinya tercipta Tafsfr Al-Azhar. Di antaranya terdapat mahasiswa yang tengah tekun dan terdidik dalam keluarga Islam, ada pula perwira-perwira tinggi yang berpangkat jenderal dan laksamana dan ada pula anak buah mereka yang masih berpangkat letnan, kapten, mayor dan para bawahan. Dan ada pula saudagar-saudagar besar, agen automobil dengan relasinya yang luas, importir dan eksportir kawakan di samping saudagar perantara. Dan ada pula pelayan dan tukang kebun, pegawai negeri, di samping isteri-isteri mereka. Semuanya bersatu membentuk masyarakat yang beriman, dipadukan oleh jamaah shalat, dalam shaf yang teratur, menghadapkan muka bersama dengan khusyu' kepada ilahi.[21]
Saat-saat menyusun tafsir ini, wajah-wajah mereka itulah yang terbayang, sehingga penafsirannya tidak terlalu tinggi mendalam sehingga dapat dipahami secara umum, tidak hanya semata-mata bisa dipahami.oleh sesama ulama saja, akan tetapi juga tidak terlalu rendah, sehingga menjemukan. Dengan pendekatan seperti ini Tafsir Al-Azhar rnudah dipahami dati berbagai lapisan masyarakat yang tidak bisa berbahasa Arab sekalipun.
Tafsir al-Azhar merupakan hasil kumpulan materi tafsir yang disampaikan oleh Hamka. Pelajaran tafsir  yang diselenggarakan setelah shalat Subuh di Masjid Agung Al-Azhar telah terdengar di mana­-mana ke seluruh penjuru di Indonesia. Pelajaran tafsir ini mendapat perhatian banyak kalangan, terutama sejak diterbitkannya majalah bernama "Gema Islam" pada bulan Januari 1962. Segala kegiatan di masjid ini kemudian ditulis dan disosialisasikan melalui majalah Gema Islam, apalagi kantor redak-si dan administrasi majalah mengambil tempat di dalam ruangan masjid. Gema Islam diterbitkan oleh Perpustakaan Islam Al-Azhar sejak pertengahan tahun 1960.
Atas usul dari seorang pegawai tata usaha majalah Gema Islam waktu itu, yaitu saudara Haji Yusuf Ahmad, maka seluruh pelajaran tafsir yang diselenggarakan setelah shalat Subuh itu kemudian dimuat di dalam majalah Gema Islam tersebut. Atas inisiatif ini Hamka kemudian memberikan nama pelajarannya dengan "Tafsir Al-Azhar", mengambil nama dari masjid yang diipergunakan untuk menyampaikan pelajarannya, Masjid Agung Al Azhar, yaitu masjid yang penamaannya diberikan oleh Syetikh  Jami' Al­Azhar sendiri ketika berkunjung ke Jakarta.[22]
TafirAl-Azhar karya Syeikh Haji Abdul Malik Karim Amirullah merupakan salah satu kitab tafsir  berbahasa Indonesia yang paling laris dan banyak diminati, baik oleh kalangan awam maupun kalangan terpelajar di Indonesia. Selain karena bahasanya yang mudah dipahami, Tafsir Al-­Azbar juga sarat dengan makna. Bagi mereka yang pernah membacanya, pasti akan mengetahui betapa luasnya dan dalamnya ilmu yang dimiliki oleh penafsir tafsir ini. Hamka tidak hanya mendalami ilmu-ilmu bantu bagi penafsiran al‑Qur'an, tetapi juga menguasai hazanah ilmu-ilmu sastra dan juga ilmu pengetahuan modern lainnya. Tingkat keilmuan Hamka tidak hanya diakui di Indonesia saja, terbukti telah mendapatkannya gelar kehormatan di negara lain yaitu dengan gelar kehormatan sebagai Doktor Honoris Causa  di Cairo Mesir dan di Malaysia. Tafsir Hamka yang merupakan karya yang masih bisa dinikmati hingga masa kini dan berharap agar menjadi sumbangan bagi khazanah ilmu pengetahuan khususnya masyarakat Indonesia yang mau mempelajari ilmu tentang al-Qur'an dan kandungannya yang begitu dalam.  Hamka mengharap agar masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang aman, damai dan modern di bawah lindungan Allah SWT.
Setelah membaca dan menelaah tafsir karya Hamka, kita dapat melihat adanya karakteristik yang dimiliki oleh tafsir tersebut. Di antara karakteristik yang ada dalam tafsir tersebut adalah: pertama, Selektif dalam menetima kisah-kisah Imayat. Hamka menyatakan bahwa cerita-cerita Israiliyat yang tidak berdasar dan bertentangan dengan akal yang sehat seharusnya ditolak. Cerita-cerita Israiliyat terbagi kepada tiga katagori, yaitu:
a.    Cerita yang sesuai dengan kebenaran, yang ada persetujuan dan persesuaiannya dengan al-Qur'an, sebab ada riwayatnya yang shahih dan Nabi Muhammad SAW. Cerita ini menjadi ada nilainya dengan adanya kesaksian Al-Quran, dan Bukanlah a1-Qur'an yang dikuatkan oleh cerita tersebut. Cerita jenis ini tidak ditolak.
b.         Cerita yang terang dustanya, yaitu cerita yang berlawanan dengan Al-Quran dan riwayat yang shahih dari Nabi. Seperti cerita Gharaniq yang sangat terkenal. Cerita jenis ini jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam dan wajib ditolak.
c.          Cerita yang tidak membawa persoalan baru, tidak bertentangan dengan Al-Quran dan tidak pula memberatkannya. Dan kedatangan riwayat tersebut tidak membawa faedah bagi agama dan kalau ditinggalkan tidak pula merugikan. Misalnya perselisihan ahlul al-kitab tentang beberapa orangkah banyaknya pemuda yang tidur di dalam gua (al-kahfi),  setengah mengatakan bertiga dan empat dengan anjingnya, setengah lainnya mengatakan lima dan enam dengan anjingnya. Untuk cerita semacam ini tidaklah kita membenarkan dan tidak pula mendustakannya.[23]
Kedua, Akomodatif dalam penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan. Dengan membaca Tafsir Al-Azhar kita bisa melihat bahwa Hamka termasuk seorang mufassir yang memperhatikan dan menitikberatkan penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan dalam penafsirannya. Sangat jelas berkali-kali Allah memerintahkan kita untuk terus berpikir dan bernalar. Tafsir  ilmy-nya dapat kita baca misalnya dalam surat Al-Anbiya ayat 30 dan Al-Mukminun ayat 12-14.
Di dalam tafsirnya Hamka tidak menonjolkan salah satu mazhab dati mazhab-mazhab yang berkembang. Beliau menampilkan berbagai pendapat para ulama dan fuqaha dengan dalil-dalilnya, kemudian beliau analisis dan memilih salah satu mazhab yang menurutnya paling kuat hujjahnya.
TafsirAl-Azhar ini ditulis dalam suasana baru, di negara yang penduduknya lebih besar jumlah muslimnya dari penduduk yang lain, sedang mereka harus akan bimbingan agama, harus hendak mengetahui rahasia maka pertikaian-pertikaian mazhab tidaklah dibawakan dalam tafsir ini, dan penulis tidaklah ta'ashub kepada suatu faham, melainkan mencoba sedaya upaya mendekati maksud ayat, menguraikan makna dari lafazh bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan memberi kesempatan orang berpikir.[24]

D.  Pemikiran Hamka Tentang Perkawinan Monogami Dalam Islam Dan Relevansinya Dengan Keutuhan Keluarga Muslim
Pada bagian ini akan dibahas penafsiran Hamka terhadap surat al-Nisa’ ayat 34. Sehubungan dengan peran jender di sektor domestik ini, akan dikemukakan beberapa hal, yaitu kepemimpinan laki-laki atas perempuan, ketaatan istri kepada suami, pembagian kerja dalam rumah tangga, dan lain sebagainya. Allah SWT berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 34:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An-Nisa’4: 34)

1.    Kepemimpinan Laki-laki atas Perempuan
Hamka mengatakan bahwa ayat di atas mengemukakan sebuah kenyataan dalam kehidupan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Tidak ada perintah dalam ayat di atas, namun kalaupun datang misalnya perintah perempuan memimpin laki-laki, maka perintah itu dengan sendirinya tidak akan bisa berjalan karena tidak sesuai dengan kenyataan dalam kehidupan. Oleh karena itu, walaupun kepemimpinan laki-laki atas perempuan tidak hanya terjadi pada dunia manusia, tetapi juga binatang. Itik jantan selalu menjadi pemimpin rombongan itik yang mengikutinya. Komunitas kera di hutan pun selalu dipimpin oleh kerana jantan.
Menurut Hamka, kepemimpinan laki-laki atas perempuan sesungguhnya merupakan naluri manusia. Hamka mengilustrasikan hal ini sebagai berikut:

Walaupun dalam rumah tangga orang yang masih belum beradab, primitif, atau orang kampung atau orang-orang modern sekalipun, tinggal di kota, siang malam membicarakan hak-hak kaum perempuan. Sedang bertengkar-tengkar di dalam rumah memperkatakan hak dan kewajiban, tiba-tiba datang orang jahat hendak merampok rumah itu. Dengan tidak ada perintah terlebih dahulu yang bersiap menghadapi musuh itu adalah laki-laki, dan yang disuruh oleh laki-laki tadi bersembunyi adalah istri dan anak-anaknya. Dan kalau ada anak laki-laki yang besar-besar, diperintah mereka oleh ayahnya sama bertahan dengan dia.

Pemimpin dalam suatu organisasi adalah sebuah keniscayaan. Menurut Hamka, rumah tangga sebagai suatu unit terkecil dalam masyarakat tidak mungkin mempunyai dua orang pemimpin. Pemimpin dalam rumah tangga adalah suami dan dia adalah penanggung jawab terakhir atas segala persoalan yang timbul dalam rumah tangga.  Hanya laki-laki yang tidak tahu harga dirilah (dayus) yang tidak menjadi pemimpin dalam rumah tangganya.
Hamka menafsirkan قَوَّامُونَ dengan pembela dan pengayom: Qawwam adalah membimbing supaya tegak, membimbing supaya dapat berjalan, memapah supaya jangan jatuh, atau menarik naik  jika sudah tergelincir jatuh, menghadang ke muka bila bahaya mengancam, mengajar kalau ilmunya masih kurang, membujuk kalau dia dalam kesedihan, memenuhi segala keperluannya; kainnya, bajunya, perhiasannya. Tegasnya, tugas laki-laki adalah membela perempuan.
Jika kepemimpinan laki-laki atas perempuan dikhawatirkan akan menimbulkan kesewenang-wenangan,  maka hal itu tidak terlihat dalam konsep qawwam Hamka di atas; bahwa laki-laki adalah pembela dan pengayom perempuan. Pengayoman dan pembelaan adalah suatu hal yang bertolak belakang dengan kewenang-wenangan dan keduanya tidak mungkin bertemu dalam satu kondisi. Tertutupnya pintu untuk untuk berlaku sewenang-wenang ini, dikaitkan Hamka dengan penegasan Allah pada akhir surat al-Nisa’ ayat 34; إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا “Sesungguhnya Allah, adalah Maha Tinggi lagi Maha Besar”; Allah Lebih Besar dan Lebih Tinggi dari pemimpin mana pun.
Ujung ayat menyebut nama Allah yang Maha Tinggi dan Maha Besar ini adalah pengebat (pengikat, pen) dan kunci daripada hak yang telah diberikan Allah di atas tadi, yaitu bahwa laki-laki adalah jadi pemimpin bagi perempuan. Mentang-mentang kamu telah diberi oleh Allah kelebihan jadi pemimpin,jangan kamu berlaku meninggikan diri dan menyombong, takabur dan membesarkan diri terhadap istrimu, berbuat sewenang-wenang, menyalahgunakan kekuasaan. Mulut kasar, mengata-ngatai atau menyebut jasa, atau main terjang dan tempeleng. Kamu mesti ingat, kalau kamu telah berlaku demikian terhadap istrimu, maka Tuhan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar akan tetap memberikan perlindungan-Nya kepada makhluk yang lemah. Dan seorang yang lalim dapat pembalasan.
Perempuan memiliki hak untuk mendapatkan pergaulan yang patut. Bagaimana bentuknya pergaulan yang patut? Allah SWT berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 228:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan surat al-Nisa’ ayat 19:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Tidak sebagaimana Terjemah Depag yang menerjemahkan bi al-ma’ruf “dengan baik”, maka Hamka menerjemahkannya bi al-ma’ruf  “dengan patut”, yaitu hak-hak yang berpatutan menurut masyarakat, yang diterima dan dipuji dan diakui oleh orang banyak. Menurut Hamka, agama tidak memberikan perincian bagaimana coraknya pergaulan yang patut itu karena berbeda pada tiap daerah dan zaman. Hak itu tidak tetap, tetapi selalu mengikuti perkembangan zaman. Berkaitan dengan hal ini Hamka mengutip beberapa hadis tentang pergaulan Rasulullah dengan istri-istrinya.  Bahwa “hak yang patut” itu selalu mengikuti perkembangan zaman, Hamka menjelaskan sebagai berikut: Misalnya menurut yang ma’ruf 100 tahun yang lalu di negeri kita ini, asal nafkah perempuan telah dicukupkan dan pakaiannya di belikan, sudahlah ma’ruf. Tetapi di zaman sekarang perempuan itu pun menghendaki pendidikan yang tinggi, kursus, menghendaki kegiatan dalam kalangan sesama perempuan, asal tidak melanggar dasar agama. Itu pun ma’ruf, atau patut.
Sebagai kitab tafsir yang bercorak adabi ijtima’i ditemukan respon Hamka terhadap diskriminasi yang dialami perempuan di dunia Islam. Hamka melihat dalam kenyataan sosial masyarakat sering terjadi ketidakadilan terhadap perempuan. Perempuan hanya dituntut melaksanakan kewajiban tetapi tidak memperoleh apa yang menjadi haknya; hak untuk dihargai, hak atas harta miliknya, dan hak atas dirinya, dan meskipun demikian, dia selalu berada dalam posisi yang disalahkan. Hamka mengkritik hal tersebut sebagaimana di bawah ini:
Mereka pun (perempuan) mempunyai hak di samping memikul kewajiban, sebagai juga orang laki-laki ada hak dan ada kewajiban. Bukanlah orang perempuan itu hanya wajib begini, mesti begitu, misalnya mesti khidmat kepada suami, tidak boleh membantah dan wajib selalu taat. Tetapi dia juga mempunyai hak buat dihargai; berhak atas miliknya sebagaimana berhaknya atas dirinya.
Sesama penulis masih kecil di kampung, kerapkali terjadi perselisihan di antara suami istri, orang datang kepada ayah penulis mengadukan hal ini dan mencari penyelesaian. Penulis masih teringat bahwa pada waktu itu kesalahan banyak ditimpakan orang kepada pihak yang perempuan saja. Dialah yang selalu disalahkan dan selalu disuruh menanggung resiko. Dia yang selalu minta maaf. Mamak-mamak dan sanak saudara yang laki-laki semuanya menyalahkan dia. Kalau dia diceraikan oleh suaminya, meskipun yang salah suami itu, kalau si suami dijemput diminta supaya surut (rujuk) dan pulang ke rumah, perempuanlah yang disuruh meminta maaf. Sehingga sudah menjadi perasaan yang umum bahwasanya sudah begitulah mestinya kalau jadi perempuan. Dia diwajibkan hormat dan khidmat kepada suaminya, tetapi dia tidak boleh menuntut supaya suaminya menjaga perasaannya pula.
Berdasarkan surat al-Nisa’ ayat 34, Hamka memandang kepemimpinan laki-laki atas perempuan sebagai suatu keharusan. Akan tetapi di sisi lain ia pun mengkritik ketidakadilan terhadap perempuan yang terjadi dalam masyarakat yang ditimbulkan oleh kepemimpinan ini. Oleh karena itu bisa dikatakan, Hamka memandang kepemimpinan laki-laki atas perempuan, sebagaimana yang dikemukakan Al-quran, bukanlah faktor penyebab ketidakadilan terhadap perempuan. Kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga harus selalu berada dalam batas-batas hak-hak perempuan. Kesewenang-wenangan dan ketidakadilan terjadi jika kepemimpinan lakai-laki melampaui batas-batas tersebut. Oleh karena itu, jika terjadi ketidakadilan dan kesewenang-wenangan akibat kepemimpinan laki-laki, maka bukan institusi kepemimpinan tersebut yang harus digugat, melainkan kesewenang-wenangan itu sendiri untuk kemudian dikembalikan kepada batas-batasnya.
Menurut Hamka, gerakan perempuan yang muncul di dunia Islam berbeda dengan di Barat. Di Barat, gerakan perempuan muncul karena mereka memang tidak memiliki hak. Sebaliknya, Islam telah menegaskan hak-hak perempuan. Perempuan-perempuan muslim telah memiliki hak. Dengan demikian di dunia Islam, gerakan perempuan muncul bukan karena Islam tidak memberikan hak bagi perempuan, melainkan karena hak tersebut ditahan-tahan oleh laki-laki yang selalu ingin berkuasa.  Jika terdapat ketidakadilan terhadap perempuan dalam masyarakat Islam, maka menurut Hamka, itu bukanlah karena Islam tidak memberikan hak bagi perempuan, melainkan karena kejahilan umatnyalah yang jadi penghalang (tidak menunaikan hak-hak tersebut).
Dari penafsirannya di atas, terlihat Hamka membedakan Islam dalam tataran nilai (normatif) dengan realitas yang terjadi dalam masyarakat (sosio historis). Secara normatif, Islam sangat melarang kesewenang-wenangan dan ketidakadilan terhadap perempuan, akan tetapi ternyata ketidakadilan itu sering ditemukan dalam realitas masyarakat muslim. Realitas masyarakat muslim tidak selamanya selalu mencerminkan nilai-nilai Islam. Kemampuan Hamka membedakan dua hal ini agaknya yang membuat Hamka tidak bersikap apologis. Walaupun di satu sisi, ia menegaskan Islam sebagai agama yang adil terhadap perempuan, ia tidak menampik dan kehilangan daya kritiknya terhadap ketidakadilan atas perempuan yang terjadi dalam masyarakat muslim.
Asbab al-nuzul (sebab turunnya) surat al-Nisa’ ayat 34, dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa seorang perempuan mengadu kepada Nabi SAW karena telah ditampar suaminya. Rasulullah SAW bersabda: “Dia mesti diqishash” (dibalas).” Maka turunlah ayat ini sebagai ketentuan dalam mendidik istri yang menyeleweng. Setelah mendengar penjelasan ayat tersebut pulanglah ia dengan tidak melaksanakan qishash. Diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim yang bersumber dari al-Hasan.
Dari riwayat lain dikemukakan bahwa ada seorang istri yang mengadu kepada Rasulullah SAW karena ditampah oleh suaminya (golongan Anshar) dan menuntut qishash (balas). Nabi SAW mengabulkan tuntutan itu. Maka turunlah surah Thaha, 20: 114) dan ayat ini (al-Nisa’, 4: 34) sebagai ketentuan suami dalam mendidik istrinya. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari beberapa jalan yang bersumber dari al-Hasan. Dan dari sumber Ibnu Juraij.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa seorang Anshar menghadap Rasulullah SAW. bersama istrinya. Istrinya berkata: “Ya Rasulullah, ia telah memukul saya sehingga berbekas di mukaku”. Maka Rasulullah bersabda: “Tidaklah berhak dia berbuat demikian.” Maka turunlah ayat ini sebagai ketentuan cara mendidik. Diriwayatkan oleh Ibn Marduwaih yang bersumber dari Ali.
Merujuk kepada asbab al-nuzul, Asghar Ali memandang surat al-Nisa’ ayat 34 sama sekali tidak menunjukkan superioritas laki-laki/suami atas perempuan, apalagi melegitimasi kesewenangan laki-laki terhadap perempuan, melainkan sebaliknya bahwa laki-laki harus menghentikan kesewenangan/kekerasan terhadap perempuan, karena dia adalah qawwam (pembela dan pengayom) bagi perempuan. Ayat tak bermaksud untuk mendorong kesewenang-wenangan suami terhadap istri, tetapi mencegahnya.  Pemukulan merupakan upaya terakhir untuk menghentikan nusyuz, sementara Rasulullah SAW bersabda, “orang baik-baik di antara kamu, niscaya tidak akan memukul istrinya.”
Berdasarkan surat al-Nisa’ ayat 34, Hamka mengemukakan sebab-sebab laki menjadi pemimpin bagi perempuan, yaitu: pertama, kelebihan yang dimilikinya. Kedua, adanya tanggung jawab nafkah di tangan laki-laki. Menurut Hamka, laki-laki lebih pandai dan lebih kuat fisiknya daripada perempuan. Memang, kadang-kadang terdapat perempuan yang lebih cerdas dan lebih kuat fisiknya dari laki-laki sehingga perempuan yang memimpin laki-laki, namun hal itu tidak akan mampu mengubah teori yang sudah berlaku secara umum, yaitu laki-laki menjadi pemimpin perempuan. Bagaimanapun hal yang jarang terjadi dan tidak bisa dijadikan sebagai teori.
Pernyataan bahwa laki-laki mempunyai banyak kelebihan dibanding perempuan sehingga ia lebih sempurna dari perempuan, seperti yang dikemukakan Hamka di atas, terkesan mendiskreditkan perempuan dan menekankan superioritas laki-laki atas perempuan. Penafsiran seperti ini bisa ditemui dalam banyak kitab tafsir, salah satunya adalah al-Manar, sebuah kitab tafsir yang banyak menginspirasi Hamka dalam penulisan tafsirnya ini. Dalam al-Manar disebutkan bahwa Allah SWT telah melebihkan laki-laki atas perempuan. Kelebihan laki-laki atas perempuan itu karena sebab fithry dan kasby. Sebab fithry sudah ada sejak penciptaan, di mana Allah SWT memang telah menciptakan laki-laki lebih sempurna daripada perempuan, baik dari segi fisik maupun akalnya. Kelebihan fihtry ini menyebabkan kelebihan kasby, di mana laki-laki lebih mampu berusaha dan berinovasi. Oleh karena itu laki-laki dituntut dengan kewajiban nafkah. Dengan segala kelebihan laki-laki ini, baik fithry maupun kasby, laki-laki menjadi pemimpin (qawwam).
Sulit untuk mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan jika salah satu pihak dianggap lebih sempurna dan lebih istimewa dari yang lain. Selanjutnya tentu akan sulit juga untuk mewujudkan keadilan tanpa adanya kesetaraan (equality) antara dua jenis manusia tersebut. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sangat mungkin terwujud jika keduanya dianggap sama-sama berkualitas, sama-sama mempunyai kelebihan dan keistimewaan. Adanya iklim kesetaraan antara mereka akan mendorong terwujudnya keadilan. Dengan penafsirannya sebagaimana di atas, bisakah dikatakan Hamka telah memosisikan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang tidak setara.
Dalam bagian lain dari tafsirnya, ketika menafsirkan surat al-Nisa’ ayat 11 tentang pembagian warisan dua banding satu antara laki-laki dan perempuan, Hamka menolak pendapat sebagian mufassir yang mengatakan perempuan lebih lemah akalnya dibanding laki-laki. Menurut Hamka akal mereka sama-sama memiliki kekurangan, kesempurnaan pemikiran bisa terwujud jika laki-laki dan perempuan saling bertukar pikiran dalam menyelesaikan suatu masalah. Untuk mendukung pernyataannya ini, Hamka mencontohkan peran Ummu Salamah dan Khadijah terhadap kesuksesan Rasulullah SAW. Tidak mungkin seorang yang lemah akal, emosional dan tidak kuat mentalnya – penilaian yang sering diterima perempuan – mampu memberi jalan keluar untuk mengatasi kesulitan serta memberikan ketenangan dan kekuatan kepada orang lain, seperti yang dilakukan Ummu Salamah dan Khadijah. Hamka menguraikan sebagai berikut:

Kita melihat pada setengah tafsir, ahli-ahli tafsir itu mengeluarkan pendapat bahwa hikmah bagian laki-laki dua kali dari perempuan ialah karena akal perempuan itu kurang; akalnya hanya separuh laki-laki. Alasan itu kita bantah keras. Karena kalau kita pelajari dengan seksama, nyata sekali bahwa akal laki-laki dan perempuan, kedua-duanya itu sama-sama kurang. Barulah akan cukup kalau kedua akal itu digabungkan. Pengalaman-pengalaman di dalam rumah tangga yang bahagia membuktikan bahwa kerapkali ternyata seorang suami tidak dapat mengambil keputusan yang tepat sebelum mendapat petunjuk dari istrinya. Istri pun kerapkali salah mengambil keputusan karena tidak bermusyawarah dengan suaminya. Dalam perjanjian Hudaibiyah jelas sekali, bahwa nasihat Ummu Salamah-lah yang melepaskan Rasulullah SAW dari kesulitan.

Pada tahun keenakm hijriah, Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin akan melaksanakan ibadah haji. Ketika tiba di Hudaibiyah, rombongan Nabi Muhammad SAW dicegat oleh kaum musyrik Quraisy. Mereka menyatakan keberatan menerima kedatangan Nabi pada waktu itu. Lalu terjadilah perundingan antara kedua belah pihak dan menghasilkan sebuah perjanjian yang dikenal dengan perjanjian Hudaibiyah. Nabi SAW menerima perjanjian tersebut walaupun sepintas lalu kelihat sebagai sikap mengalah kaum muslim kepada kaum musyrik Quraisy. Akibat perjanjian tersebut pelaksanaan ibadah haji diundur sampai tahun depan sehingga kaum muslim yang pada waktu itu sedang dalam perjalanan ke Mekkah harus kembali ke Madinah. Untuk itu, Rasulullah SAW memerintahkan mereka bertahallul dan menyembelih dan. Para sahabat yang pada dasarnya tidak setuju dengan perjanjian tersebut kelihatan enggan melaksanakan perintah tersebut, sehingga Rasulullah SAW  hampir marah karena perintahnya tidak dipatuhi. Pada saat penting itulah istrinya yang ikut pada waktu itu, Ummu Salamah, menarik tangan Rasulullah SAW. ke dalam kemah untuk meredakan kemarahannya.  Ummu Salamah menyarankan agar Rasulullah memulai sendiri bertahallul dan menyembelih dam. Ummu Salamah berkata: “Janganlah engkau marah ya Rasulullah. Engkau mulai saja sendiri. Segera sekarang juga engkau keluar, engkau gunting rambutmu, engkau sembelih binatang dammu kemudian lepaskan pakaian ihrammu dengan tidak usah berbicara lagi.” Rasulullah SAW. melaksanakan nasihat Ummu Salamah. Para sahabat yang melihat hal itu segera mengikuti perbuatan Rasulullah SAW, sehingga semuanya berjalan dengan lancar.
Bahwa bukan hanya laki-laki yang membela dan melindungi perempuan, tetapi juga sebaliknya, dapat dilihat dalam rumah tangga Rasulullah dengan Khadijah. Ketika Rasulullah SAW ketakutan sewaktu menerima wahyu pertama kali, Khadijah memberi kepercayaan kepada Rasulullah. Sikap dan kepercayaan yang telah diberikan Khadijah itu sangat besar artinya dalam membangkitkan jiwa Rasulullah untuk memikul tanggung dan tugas yang dibebankan Allah SWT kepadanya.  Bahkan pada tahap selanjutnya, seluruh harta bendanya dikorbankan untuk mendukung cita-cita suaminya, Rasulullah SAW.
Menurut Hamka, laki-laki dan perempuann sama-sama memiliki kekurangan. Oleh karena itu di antara mereka terdapat saling melengkapi. Laki-laki dengan segala kelebihannya melengkapi kekurangan perempuan, dan perempuan dengan segala kelebihannya melengkapi kekurangan laki-laki. Dalam penafsirannya terhadap surat al-Nisa’ ayat 11, Hamka mengatakan sebagai berikut: Kita sendiri sebagai laki-laki ada cacatnya. Seorang yang belajar dari pengalamannya dapatlah meyakinkan, bahwasanya dua raga dan jiwa yang telah dipadukan oleh akad nikah, sama-sama dalam kekurangan. Yang satu akan mengimbuhi.
Kedudukan laki-laki sebagai pemimpin dalam rumah tangga diilustrasikan Hamka sebagai berikut: Ibarat kapal berlayar mempunyai nakhoda (kapten kapal) dan masinis (juru bantu). Kedudukan masinis sangat penting. Kalau dia tidak ada, kapal tidak dapat berlayar. Tetapi masinis tetap mengetahui bahwa kepala tertinggi adalah nakhoda.   Seibarat batang tubuh manusia, ada kepala, ada tangan dan kaki, ada perut. Semuanya penting, tetapi yang kepala tetap kepala.
Adanya penekanan sangat pentingnya peran masinis agar sebuah kapal dapat berlayar atau peran anggota tubuh selain kepala, seperti tangan atau kaki agar tubuh dapat berfungsi secara optimal menunjukkan bahwa Hamka kelihatannya ingin menepis anggapan kedudukan laki-laki sebagai pemimpin dalam rumah tangga lebih penting dari anggota keluarga yang lain. Nakhoda penting, masinis juga penting. Walaupun kendali kapal tetap dipegang oleh nakhoda, namun tanpa salah satu dari keduanya, maka kapal tidak dapat berlayar dengan optimal. Demikian jugalah halnya dengan kedudukan suami istri dalam rumah tangga.
Dari uraian di atas, terlihat Hamka menolak superioritas laki-laki atas perempuan secara tegas. Menurutnya, baik laki-laki maupun perempuan, sama-sama mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kekurangan masing-masing mereka tidak berarti membuat pihak yang satu lebih rendah dari yang lain. Sebaliknya, kelebihan masing-masing mereka pun tidak berarti membuat pihak yang satu lebih tinggi dari yang lain; akan tetapi hal ini akan membuat kedua belah pihak  saling melengkapi, saling menyempurnakan dan saling membantu, sebagaimana layaknya suatu yang berpasangan. Jika laki-laki memiliki suatu keistimewaan yang tidak dimiliki perempuan, maka itu tidak berarti dia lebih super dari perempuan, karena perempuan pun memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki laki-laki. Kesetaraan jender sangat jelas tergambar pada penafsiran Hamka yang terakhir ini. Hal ini berbeda dengan penafsirannya di awal pembahasan, bahwa laki-laki lebih cerdas dari perempuan. Bisa dikatakan Hamka tampaknya terpengaruh dengan penafsiran-penafsiran klasik tentang kelebihan laki-laki atas perempuan ketika menafsirkan teks ayat: بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ dengan mengatakan bahwa perempuan lebih lemah akal dan mentalnya dibanding laki-laki. Namun, sebagai seorang yang hidup dalam alam pembaharuan pemikiran Islam dan dibesarkan dalam budaya matrilineal-di mana dalam kebudayaan ini perempuan sangat dihormati dan mempunyai peranan penting-serta hidup dalam masyarakat Indonesia yang kehidupan perempuannya lebih baik, walaupun terpengaruh dengan pandangan para mufassir, Hamka tetap memiliki pandangan tersendiri tentang perempuan. Pandangannya tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan sangat jelas terlihat dalam uraian di atas.
Kalimat بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ  pada surat al-Nisa’ ayat 34 memang terkesan bias jender, yaitu laki-laki lebih unggul dari perempuan. Terjemahan oleh Departemen Agama yang mengembalikan dhamir هُمْ kepada laki-laki menyiratkan hal tersebut. Terjemahan oleh Depag secara lengkap berbunyi: Laki-laki itu pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. 
Terjemahan tersebut sangat mudah untuk mengantarkan pembacanya kepada pemahaman bahwa hanya laki-laki yang dikaruniai keistimewaan dan oleh karena itu laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Tidak bisa dipungkiri bahwa pemahaman seperti ini lazim ditemui di dalam masyarakat atau dalam literatur-literatur. Dalam literatur tafsir sendiri, diantaranya, seperti yang dikemukakan oleh Rasyid Ridha di atas. Al-Nawawi juga menyampaikan hal senada, bahwa laki-laki lebih unggul dari perempuan; perencanaan yang matang, penilaian yang tepat, kelebihan kekuatan dalam amal dan ketaatan. Oleh sebab itu hanya laki-laki yang menjadi nabi, imam, saksi dan lain-lain.
Terdapat beberapa mufassir yang berusaha menafsirkan penggalan ayat dalam surat al-Nisa’ ayat 34 tersebut agar tak terlihat bias jender. Muhammad Quraish Shihab, umpamanya, dalam karangannya Tafsir Al-Mishbah menerjemahkan penggalan ayat tersebut sebagai berikut: Para laki-laki adalah qawwam atas wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian harta mereka.
Dengan terjemahan seperti yang dikemukakan Quraish Shihab – yang tidak mengembalikan dhamir “hum” kepada laki-laki, terbuka peluang untuk memahami ayat ini bahwa Allah menganugerahkan kelebihan/keistimewaan kepada laki-laki dan perempuan, tidak hanya kepada laki-laki. Bahwa Quraish Shihab tidak mengkhususkan kelebihan hanya diberikan Allah kepada laki-laki saja, bisa dilihat dalam penafsirannya berikut ini:

Karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain”, yakni masing-masing memiliki keistimewaan-keistimewaan. Keistimewaan yang dimiliki laki-laki menunjang tugas kepemimpinan daripada keistimewaan yang dimiliki perempuan. Di sisi lain, keistimewaan yang dimiliki perempuan lebih menunjang tugasnya sebagai pemberi rasa damai dan tenang kepada laki-laki serta lebih mendukung fungsinya dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya.

Sementara itu Nasaruddin Umar berangkat dari analisisnya terhadap kata al-rijal. Untuk menunjuk kepada laki-laki, Al-Quran menggunakan kata-kata al-dzakar dan al-rijal. Tentu bukan tanpa tujuan Al-Quran menggunakan al-dzakar pada satu ayat dan al-rijal pada ayat yang lain. Nasaruddin membedakan penggunaan dua kata tersebut dalam al-Qur'an. Kata al-rijal digunakan untuk menggambarkan kualitas moral dan budaya seseorang, sedangkan al-dzakar, penekanannya kepada jenis kelamin. Al-rijal lebih berkonotasi jender, sedangkan al-dzakar lebih berkonotasi biologis dengan menekankan aspek jenis kelamin. Jadi semua orang yang masuk dalam kategori al-rijal, juga termasuk ke dalam kategori al-dzakar. Tetapi tidak semua al-dzakar masuk ke dalam kategori al-rijal. Kategori al-rijal menuntut sejumlah kriteria tertentu yang bukan hanya mengacu kepada jenis kelamin, tetapi juga kualifikasi budaya tertentu, terutama sifat-sifat kejantanan (masculinity). Kata al-rijal dalam ayat tersebut adalah laki-laki tertentu yang mempunyai kapasitas tertentu yang lebih ditekankan kepada aspek jender laki-laki, bukan kepada aspek biologisnya sebagai manusia yang berjenis kelamin laki-laki. Dengan demikian tidak semua laki-laki mempunyai tingkatan yang lebih tinggi dari perempuan. Kecuali jika redaksi ayat memakai kata al-dzakar, maka itu bisa diartikan bahwa memang secara alami semua laki-laki mempunyai tingkatan yang lebih tinggi dari perempuan.
Maulana Usmani, sebagaimana yang dikutip oleh Ali Asghar Engineer, juga mengatakan kalimat sama sekali tidak menunjukkann superioritas laki-laki atas perempuan. Penggunaan dhamir “hum”, kata ganti ketiga untuk laki-laki, dalam Al-Quran sering digunakan untuk menunjukkan keduanya, laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, jika Allah SWT telah memberi kelebihan sebagian atas sebagian yang lain, sebagaimana yang terdapat dalam ayat, maka pernyataan ini berlaku untuk kedua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Ini berarti bahwa laki-laki mempunyai keistimewaan tertentu yang tidak dimiliki perempuan dan sebaliknya perempuan memiliki pula keistimewaan tertentu yang tidak dimiliki laki-laki. Dengan demikian, kelebihan / keistimewaan yang dimiliki oleh masing-masing mereka, tidak berarti membuat yang satu lebih super dari yang lain. 
Kelihatan sekali semangat kesetaraan jender yang ada dalam penafsiran Maulana Usmani, Quraish Shihab dan Nasaruddin Umar sama dengan Hamka. Bedanya, terhadap ayat yang secara tekstual terkesan mendiskreditkan perempuan ini–dan ternyata menang telah melahirkan penafsiran-penafsiran yang mendiskreditkan perempuan – maka untuk mendapatkan penafsiran yang tidak bias jender, tiga tokoh pertama memahaminya juga secara tekstual dengan analisis bahasa, sementara Hamka memahaminya dengan analisis sosial. Buku Tafsir Al-Azhar sendiri memang dikategorikan sebagai kitab tafsir yang bercorak adabi ijtima’i.
Laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan. Kekurangan dan kelebihan masing-masing tidak berarti satu pihak lebih tinggi atau lebih rendah daripada yang lain, melainkan satu sama lain saling melengkapi dan saling membantu, sebagaimana layaknya sesuatu yang berpasangan. Karena saling melengkapi, ini berarti keduanya sama pentingnya. Keberadaan dari salah satu anggota pasangan ditentukan oleh anggota lain yang menjadi pasangannya. Umpama sepasang sepatu, kata Marwah Daud Ibrahim, nilai sepasang sepatu barulah ada tatkala ia terdiri dari dua. Adapun pernyataan bahwa si kanan lebih baik, lebih sempurna dan lebih berharga dari si kiri, atau sebaliknya, adalah pernyataan yang tidak relevan. Begitu pentingnya arti masing-masing mereka, dengan ketidakbersamaan keduanya, satu sepatu tidak lebih dari seonggok sampah.  Karena saling melengkapi, sesuatu yang berpasangan tidak mungkin dibanding-bandingkan. Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa dalam keadaan saling melengkapi, tidak mungkin ada ketidaksetaraan.
Apakah kepemimpinan laki-laki atas perempuan, sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Nisa’ ayat 34, menurut Hamka hanya berlaku dalam rumah tangga saja atau juga berlaku di wilayah public. Sepanjang penelitian terhadap buku Tafsir Al-Azhar, penulis tidak menemukan adanya pernyataan Hamka tentang hal itu. tetapi dari berbagai penjelasannya terhadap ayat ini, bisa dikatakan bahwa menurut Hamka ayat ini berbicara tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan di dalam rumah tangga bukan di wilayah publik. Kesimpulan ini pun selaras dengan pendapatnya tentang kemungkinan perempuan menjadi kepala negara, sebagaimana yang akan dipaparkan nanti pada pembahasan peran jender di sektor publik.
2.    Pembagian Tugas
Pada bagian ini akan dibahas pendapat Hamka tentang pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga; apakah terdapat dikotomi antara tugas laki-laki dan perempuan, dan jika ada, apakah tugas salah satu pihak dianggap lebih penting dan berharga dari yang lain.
Surat al-Nisa’ ayat 34 mengatakan bahwa nafkah merupakan salah satu penyebab laki-laki menjadi pemimpin. Berdasarkan ayat ini, Hamka mengatakan bahwa kewajiban nafkah keluarga berada di tangan suami. Sebaliknya istri bertanggung jawab dalam urusan domestik rumah tangga. Berkaitan dengan hal ini, Hamka mengutip sabda Rasulullah SAW: “Dan perempuan adalah penggembala di dalam rumah suaminya, dan dia pun bertanggung jawab atas penggembalaannya itu.”
Menurut Hamka, dalam rumah tangga harus ada pembagian tugas dan tanggung jawab antara suami-istri. Pekerjaan yang kasar dan berat adalah tanggung jawab suami, sebaliknya pekerjaan yang halus dan rumit adalah tanggung jawab istri. Pekerjaan kasar laki-laki tidak akan dapat dilakukan oleh perempuan, sebaliknya pekerjaan halus perempuan tidak akan dapat dilaksanakan oleh laki-laki. Keharmonisan rumah tangga akan terwujud dengan keserasian pembagian kerja tersebut; yang kasar dan berat dengan yang ringan dan halus. Perempuan seharusnya konsisten dengan tugasnya – mengandung, menyusui dan mengasuh anak, demikian juga laki-laki dengan tugasnya.  Hamka terlihat sangat tegas dalam masalah pembagian tugas dan peran antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga. Menurutnya, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan fisik antara mereka. Tapi tidak ditemukan pandangan Hamka yang melarang kerja sama antara mereka; baik untuk perempuan yang ikut mencari nafkah, maupun untuk laki-laki yang ikut membantu pekerjaan domestik rumah tangga. Malah Hamka memuji bantuan suami dalam pekerjaan domestik istrinya sebagai suatu pergaulan yang baik.  Dengan demikian, walaupun Hamka melakukan pembedaan dan pembagian tanggung jawab antara suami istri, namun perbedaan tersebut tidak menghalangi kerja sama dalam menjalankan tugas masing-masing.
Dalam penafsirannya terhadap surat al-Baqarah ayat 233 tentang penyusuan anak yang berbunyi:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. (QS. Al-Baqarah: 233).
Hamka terlihat sangat apresiatif dengan tanggung jawab perempuan. Tanggung jawab perempuan (istri) – mengandung, melahirkan dan menyusui – merupakan tugas yang amat besar. Oleh karena itu merupakan kewajiban mutlak bagi laki-laki untuk membela dan menafkasihnya (menjalankan tugas-tugas sebagai qawwam bagi perempuan). Pandangan Hamka tersebut bisa dilihat sebagai berikut: ingatlah bahwa seorang ibu dalam zaman menyusukan anaknya adalah memikul beban yang sangat berat meminta tenaganya, rohani dan jasmani. Cobalah perhatikan perempuan yang telah berkali-kali mengasuh anak. Lihatlah badannya yang lemah dan susunya yang lisut... Oleh sebab itu membela istri dan mencukupkan belanjanya adalah kewajiban mutlak bagi seorang suami.
Dalam kutipan di atas, juga terlihat Hamka mengaitkan tugas nafkah laki-laki dengan tugas reproduksi perempuan. Tugas laki-laki memberikan nafkah dan pembelaan terhadap perempuan merupakan suatu hal yang seimbang dengan tugas perempuan dalam mengandung, melahirkan dan menyusui. Laki-laki menafkahi perempuan, memenuhi segala kebutuhan perempuan, namun tugas laki-laki tersebut tidak bisa dianggap lebih penting. Kewajiban laki-laki sebagai pemberi nafkah adalah suatu hal yang seimbang dengan kewajiban perempuan yang telah mengandung, melahirkan dan menyusui.
Laki-laki telah memenuhi segala kebutuhan perempuan. Dia menghasilkan sesuatu yang bersifat materi. Oleh karena itu, dalam pandangan umum, tanggung jawab laki-laki sebagai pencari nafkah dipandang lebih bernilai dan berharga. Pandangan ini dianggap turut memberikan andil dalam mensubordinasikan posisi perempuan.
Amina Wadud mengatakan  tugas/tanggung jawab nafkah dibebankan kepada laki-laki karena perempuan telah diberi tugas untuk mengandung, melahirkan dan menyusui anak – suatu tugas eksklusif perempuan, di mana hanya perempuan yang bisa melakukannya disebabkan alasan biologis yang sudah jelas. Tugas tersebut amat penting untuk mempertahankan eksistensi manusia. Tanggung jawab perempuan ini membutuhkan kekuatan fisik, stamina dan komitmen pribadi yang mendalam. Tanggung jawab ini sangat jelas dan sangat penting karena menyangkut kelangsungan / kelestarian umat manusia. Sedemikian pentingnya tanggung jawab perempuan ini, lalu apa tanggung jawab laki-laki sebagai penyeimbang tanggung jawab perempuan ini? Laki-laki berkewajiban memberi nafkah sehingga dengan demikian perempuan dapat menunaikan kewajibannya dengan nyaman. Jika laki-laki tidak menunaikan tanggung jawabnya, maka hal ini bisa dianggap sebagai suatu penindasan.
Penjelasan Amina Wadud di atas seolah ingin menegaskan bahwa tanggung jawab nafkah mutlak di tangan laki-laki, sebagaimana mutlaknya tanggung jawab meneruskan keturunan di tangan perempuan. Selama mengandung, melahirkan, dan menyusui anak hanya bisa dilakukan oleh perempuan, maka selama itu pula laki-laki bertanggung jawab atas nafkah. Ikut andilnya perempuan dalam hal nafkah tidak otomatis dapat membuat kewajiban nafkah berpindah ke tangan perempuan.
Penjelasan Wadud ini terlihat juga menegaskan bahwa walaupun tanggung jawab nafkah di tangan laki-laki, tidak seharusnya membuat laki-laki dianggap lebih bernilai dan lebih berharga dari perempuan. Perempuan bertanggung jawab sebagai penerus kelestarian manusia di muka bumi dan laki-laki bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan perempuan.  Dua tanggung jawab ini sama pentingnya. Oleh karena itu, satu sama lain tidak bisa dianggap superior, paling bernilai dan berharga karena tanggung jawabnya masing-masing.
Dari penafsirannya di atas, terlihat Hamka menganut teori naturer, menganggap perbedaan peran laki-laki dan perempuan ditentukan oleh faktor biologis. Anatomi laki-laki dan perempuan dengan sederet perbedaannya masing-masing menjadi faktor utama dalam penentuan peran sosial kedua jenis kelamin ini. Perbedaan anatomi melahirkan perbedaan fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki bertugas mengurusi urusan-urusan luar rumah (sektor publik), sedangkan perempuan bertugas mengurusi urusan dalam rumah tangga (sektor domestik). Walaupun terkesan bias jender, tidak ditemukan dari penafsirannya tersebut yang membawa kepada ketidaksetaraan dan ketidakadilan jender. Ketidaksetaraan muncul jika tugas dan peran salah satu pihak dianggap lebih penting dan lebih berharga dari yang lain, sedangkan pembagian peran dan tanggung jawab antara suami istri sebagaimana yang diungkapkan Hamka sama sekali tidak menganggap tanggung jawab dari masing-masing pihak lebih berharga dari yang lain, lebih bernilai atau lebih berat. Di samping itu Hamka juga mendorong kedua belah pihak bekerja sama dalam menjalankan tugas-tugas mereka.
3.    Ketaatan Istri
Kepemimpinan menurut ketaatan dari yang dipimpin. Ini berarti kepemimpinan suami menuntut ketaatan istri. Allah SWT berfirman masih dalam surat al-Nisa’ ayat 34:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ

Hamka menafsirkan penggalan ayat tersebut sebagai berikut: Maka perempuan yang baik-baik adalah yang taat. Yaitu taat kepada Allah dan taat menuruti peraturan sebagai perempuan dan sebagai istri, bertanggung jawab dalam rumah tangga terhadap harta benda, suami dan pendidikan anak-anak.  Perempuan yang taat bukanlah semata-mata perempuan yang tunduk kepada tuannya. Taat ialah perempuan yang tahu akan hak dan kewajibannya, yang menjaga rumah tangga dengan baik dan tahu tenggang menenggang, dan juga tahu akan harga dirinya.
Dalam kutipan di atas terlihat Hamka tidak menafsirkan ketaatan istri pada ayat di atas degnan ketaatan kepada suami, melainkan ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada peraturan yang sudah ditetapkan Allah – baik berupa hak atau kewajiban dan sopan santun – dalam kehidupan berumah tangga. Dengan demikian ketaatan istri kepada suami sesungguhnya adalah buah dari ketaatan kepada Allah dan segala peraturannya. Ketaatan kepada Allah otomatis akan menghasilkan ketaatan kepada suami dan selanjutnya ketaatan istri kepada suami selalu berada dalam koridor ketaatan kepada Allah dan peraturan-Nya. Oleh karena itu bisa dipahami jika Hamka lebih menfokuskan inti ketaatan istri itu dengan ketaatan kepada Allah bukan kepada suami, sebagaimana yang terlihat pada kutipan di atas. Sebagai pemimpin yang mestinya ditaati, Hamka mengatakan Islam tidaklah memerintahkan istri tunduk kepada suami sebagaimana tunduk kepada Tuhan.
Menurut Hamka, sebagai pemimpin, suami adalah penanggung jawab berbagai persoalan rumah tangga. Oleh karena itu, keputusan terakhir harus berada di tangannya. Akan tetapi, setiap rumah tangga hendaknya selalu melakukan musyawarah. Beberapa contoh persoalan yang diberikan Hamka untuk dimusyawarahkan di antaranya penambahan dan pengurangan anggaran belanja rumah tangga, menerima menantu dan sebagainya.  Dalam pengasuhan anak, seperti keputusan untuk cerai menyusu, dengan berdasarkan kepada surat al-Baqarah ayat 233, Hamka menafsirkan agar suami istri bermusyawarah dan keputusan hasil musyawarah itu dilaksanakan jika kedua belah pihak sudah saling rela. Sebagai pemimpin, suami adalah pengambil keputusan terakhir, namun kata Hamka, pelaksanaannya harus dalam suasana cinta dan musyawarah. Perintah untuk bermusyawarah ini juga mengisyaratkan perlunya sikap saling rela dan saling menghargai antara suami – istri.  Tanpa adanya sikap saling menghargai antara kedua belah pihak, mustahil akan terjadi musyawarah, sedangkan sikap saling menghargai tidak mungkin ada jika salah satu pihak merasa lebih unggul dari yang lain. Quraish Shihab mengatakan bahwa musyawarah tidak akan dapat dilaksanakan dalam situasi ketika seseorang merasa lebih unggul dari yang lain. Dengan demikian perintah agama agar suami istri bermusyawarah dalam kehidupan rumah tangga, menunjukkan bahwa agama mengakui adanya kesetaraan jender dalam rumah tangga.

E.  Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Hamka memandang ketaatan istri kepada suami bukanlah ketaatan dalam hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama, sebab ketaatan kepada suami berada dalam naungan ketaatan kepada Allah; juga bukan ketaatan y ang mengabaikan hak istri, sebab sebagaimana kutipan di atas, Hamka mengatakan istri yang taat adalah istri yang tahu hak dan kewajibannya; juga bukan ketaatan yang mengabaikan peran istri dalam menentukan kebijakan rumah tangga, sebab pengambilan keputusan didahului dengan musyawarah; juga bukan ketaatan yang akan mengukuhkan superioritas suami, sebab mustahil terjadi musyawarah jika tidak ada saling menghargai dan salah satu pihak merasa lebih unggul. Konsep Hamka tentang ketaatan istri ini terlihat selaras dengan konsepnya tentang kepemimpinan suami; sama-sama menutup kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan dan ketidakadilan dalam rumah tangga.





DAFTAR PUSTAKA


Amal, Siti Hidayati, “Beberapa Perspektif dalam Menganalisis Permasalahan Wanita” dalam TO. Ihromi (ed.), Kajian Wanita dalam Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995.
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mahkota Surabaya, Edisi Revisi, 1989.
Engineer, Asghar Ali, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994.
Hakimy, Idrus, Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1984.
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz I, II, IV, V, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1987.
-------- , Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Jakarta: Fa. Tekad, 1963.
-------- , Ayahku, Jakarta: Yayasan Umminda, 1978.
-------- , Kedudukan Perempuan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988.      
Hamka, Rusydi, Pribadi dan Martabat Buya Hamka, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
Ibrahim, Marwah Daud, Teknologi Emansipasi dan Transendensi, Mizan, Bandung, 1994.
Jawy, Muhammad Nawawy Al-, Tafsir Al-Nawawii, Jilid I, Beirut: Darul Fikri, tt.
Latif, M. Sanusi, “Perkembangan Pemikiran Islam di Minangkabau”, dalam Panji Masyarakat No. 628, 1-11 November 1989.
Megawangi, Ratna, Membiarkan Berbeda Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender, Bandung: Mizan, 1999.
Mudzhar, Muhammad Atho, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia, Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Jakarta: INIS, 1993.
Naisaburi, Abi al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Wahidi al-, Asbab al-Nuzul, Beirut: Dar al-Fikr, 1991.
Navis, Ali Akbar, Alam Terkembang Jadi Guru, Jakarta: Grafiti Pers, 1987.
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam 1940-1942, Jakarta: LP3ES, 1986.
Rasyad, Aminuddin, “Diniyyah Puteri Padang Panjang 1923-1979, Suatu Studi Mengenai Sistem Pendidikan Agama,” Disertasi pada Program Pascasarjana IAIN Jakarta, 1982 (Naskah tidak diterbitkan).
Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1983.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, Juz 2, Lentera Hati, Jakarta, 2000.
Steenbrink, Karel, “Hamka (1908-1981) and the Integration of the Islamic Ummah of Indonesia”, dalam Studi Islamika, Vol 1, No 3, 1994.
Syahri, Aswandi, “Soenting Melayoe, Surat Kabar Perempuan di Minangkabau”, Makalah disampaikan pada Seminar Mahasiswa Sejarah Tingkat Nasional di Universitas Andalas, Padang, 1 Oktober 1991.
Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Alquran, Jakarta: Paramadina, 1993.
Wadud, Amina, Quran Menurut Perempuan Meluruskan Bias Gender Dalam Tradisi Tafsir, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Yani, Ahmad, “Pemahaman Hamka dalam Bidang Fikih”, Tesis Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1985.
Yusuf, Yunan, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.


[1] HMA Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat: Kajian Fiqh Nikah Lengkap, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010)
[2] Olson, Marriages and Families: Intimacy, Diversity, and Strengths, (New York: McGraw Hill, 2006), h. 19
[3] Ibid., h. 23-25
[4] Fatchiah E. Kertamuda, Konseling Pernikahan untuk Keluarga Indonesia, (Jakarta: Salemba Yumanika, 2009), h. 35, lihat juga, Undang-undang Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Arkola, t.t), h. 6
[5] Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 82
[6] Ibid., h. 83
[7] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz IV, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), h. 225
[8] Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008), h. 24
[9] Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar Metode dan Teknik, (Bandung: Tarsito, 1989), h. 132
[10] Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. (Jakarta: UI, 1985), h. 32-34
[11] Hamka, Kenang-Kenangan Hidup, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 9
[12] Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), h. xv
[13] H.A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern Dalam Islam, (Jakarta: Rajawali, 1978), h. 44
[14] Yunus Amir Hamzah, Hamka Sebagai Pengarang Roman, (Jakarta: Puspita Sari Indah, 1993), h. 3-4
[15] Ibid,  
[16] Yunus, Hamka Sebagai Pengarang Roman…, h. 5
[17] Howard M. Federspield, Kajian al-Qur'an di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1996), h. 54
[18] Yunus, Hamka Sebagai Pengarang Roman…, h. 6
[19] Ibid
[20] Ibid, h. 40-1
[21] Ibid, h. 42
[22] Ibid, h. 48
[23] Hamka, Tafsir Al-Azhar…, Jilid I, h. 34-35
[24] Ibid, h. 40-41

1 komentar:

  1. Memang Benarlah Buya Hamka tentang kajiannya perkawinan sebenarnya Monogami, sebab banyak yang tidak sanggup berlaku adil, akhirnya hanya memperbanyak dosa saja, banyak yang berdusta dan menipu, jika terjadi Polygami, orang yang banyak istri hidupnya dipenuhi kebohongan, ibadahnya tidak tenang, dipenuhi kecurigaan dan kecurangan, mencari masalah baru katanya menambah ibadah, hanyalah menambah dosa saja. Banyak sekali gaya perkawinan saat ini berpolygami tidak mengikuti cara Nabi Muhammad, saw. Jika kita menyelusuri nabi saw berpoligami, diawali Istri rasulullah yang pertama wafat terlebih dahulu, barulah Rasulullah menikah lagi, akan tetapi sebelumny belum pernah terjadi nabi menikah lagi selama istri Nabi Khodijah masih hidup. Kan Allah memberikan berpolygami hanyalah pengecualian, hanyalah bertaqwa membantu merawat haq anak yatim yang sangat perlu dibantu dalam pembinaan iman hingga dewasa, bukan nafsu SEX yang dikedepankan, zaman iedan ini orang berpolygami hanyalah bertitik tolak pada SEX semata, semuanya menjadi musyrik jadinya, karena sex dijadikan Tuhan dan hantu..benrakah orang berpolygami zamna edan ini, ane berkeyaqinan jika sengaja karena nafsu SEX anda berpolygami maka bersiap dirilah anda mempercepat masuk neraka, karena kebohongan dan kepalsuan anda makin berlipat ganda, inilah yang menjadikan cepat masuk neraka karena hukum Allah dipermainkan.

    BalasHapus

CARI

 

Random Post


web counter

Test Footer

About