Oleh: Syafieh, M. Fil. I
A.
Pendahuluan
Seperti yang telah dijelaskan
pada teori Historiografi konvensional diatas, Pembahasan sejarah awal Islam hanya
beriorentasi politik (Politik oriented) karena peristiwa- peristiwa
kesejarahan awal Islam yang bertemakan sejarah politik seperti
peperangan-peperangan, (al-maghazi), pembukaan/perluasan wilayah (al-futuhat),
dan al-khilafah, yang semuanya menjadi tema sentral dalam historiografi
Islam konvensional.
B.
Teori Historiografi Islam
Historiografi awal Islam pada
dasarnya merupakan historiografi Arab yang berkembang dalam periode sejak Islam
pertama kali disampaikan Nabi Muhammad SAW sampai abad ke-3 H., ketika
historiografi Islam awal mengambil bentuk relatif mapan. sulit dibantah, bahwa
historiografi awal ini mempunyai sumber dasar keagamaan. Adalah Islam yang memberikan kesadaran sejarah
kepada kaum muslim baik melalui al-Qur'an --- dengan banyak ayat yang
mendandung dimensi historis dan quasi-historis—maupun melalui Nabi Muhammad
sendiri sebagai figus historis.(M. Azami, 1977:1-3)
Dalam pandangan Yusni Abdul
Gani, ilmu sejarah dalam Islam dianggap sebagai ilmu-ilmu keagamaan ('ulum
an-naqliyyah) kerena pada awalnya terkait erat dengan ilmu hadis. Seperti dikemukakan Duri, kebangkitan
tulisan sejarah sejak masa awal Islam merupakan bagian integral dari
perkembangan kebudayaan Islam umumnya; historiografi Islam berkaitan sangat
erat dengan kebangkitan disiplin hadits.(Duri, 1986:12-3) Senada dengan
pernyataan Duri, Azra, melihat bahwa penulisan hadits itu dapat dikatakan
sebagai cikal bakal penulisan sejarah. Dari penulisan hadits-hadits Nabi itu, para sejarawan
segera memperluas cakupan sejarah. Pertama-tama mereka mengembangkannya kepada riwayat-riwayat yang berkenaan
dengan perang-perang Nabi yang disebut dengan al-maghazi.
Sementara pandangan, Badri
Yatim, selain dari al-Qur'an dan hadits sebagai sumber historiografi, Islam
mendapatkan kontribusi berarti dari warisan kuno budaya Arab
berupa al-Anshab dan al-Ayyam. Dua bentuk pokok ini
merupakan instrumen pewarisan turun-temurun cerita tentang kepahlawanan
seseorang, kemenangan di medan perang serta tuturan dan sedikit catatan tentang
silsilah keluarga.(Yatim, 1997:37-9)
Dalam bukunya Historiografi
Islam Kontemporer, Azra, mengungkapkan bahwa literatur hadits
menempati posisi yang sangat krusial sebagai tambang informasi bagi
historiografi awal Islam. Materi
hadits yang luar biasa banyaknya merupakan tambang informasi bagi tulisan
sejarah Islam di masa awal, seperti maghazi (razia atau serangan
militer), sirah (biografi), asma al-rijal (biografi perawi
hadis), dan semacamnya. Dalam penulisan sejarah awal, seperti
halnya dalam penulisan hadits, para sejerawan menggunakan metode isnad dalam penulisannya dan penggunaan
metode kronologis dalam karya biografis juga mempengaruhi metode historiografi
awal Islam. Metode
isnad dalam sejarah biografi dan maghazi sangat jelas terlihat
pada penulis sejarah generasi pertama. Berikut ini kita akan membahas tiga
jenis historiografi awal tersebut lengkap dengan metode eksposisi mereka.
- Tema-tema Historiografi Islam Awal
a. Al-Maghazi
Al-Maghazi berasal dari kata ghazwah
(ekspedisi militer) yang dari sudut pandang sejarah berarti perang dan penyerangan
militer yang dilakukan Nabi Muhammad. Belakangan, makna kata ini sering diperluas
untuk mencakup seluruh misi kerasulannya. Karena itu, terdapat hubungan erat
atau bahkan tumpang tindih antara maghazi dan sirah, Tetapi maghazi merupakan studi
paling awal tentang sejarah kehidupan Nabi, yang dilakukan beberapa sahabat
terkemuka. Mereka mengumpulkan hadis historis yang beredar pada masa mereka.
Koleksi mereka inilah yang kemudian menjadi data penting bagi para tabi'un.
Horovitz, dalam buku Azra, menyatakan,
meski sebagian data hadis yang terekam di atas shaha'if (shuhuf)
atau dalam kitab tidak jelas nilainya, tetapi tak ada keraguan bahwa catatan
tertuilis semacam itu bukan lagi merupakan barang langka di kalangan tabi'un,
yang memperoleh pengetahuan dari pada sahabat.
Mengingat uraian diatas, tidak
heran jika studi maghazi muncul berbarengan dengan studi hadits. Muhaddisun
menunjukkan minat mereka terhadap maghazi, tetapi sebagian di antara
mereka, ketika mengkaji riwayat kehidupan Nabi melakukannya dalam cara yang
melampaui batas aspek hukum. Jadi, para pioner studi maghazi adalah muhaddisun; mereka dipandang sebagai pengarang maghazi.
Ini juga menjelaskan kenapa isnad menduduki peranan penting dalam
mengukur nilai maghazi. Ini berarti, nilai hadits dan riwayat lain
tergantung pada reputasi para muhaddist atau perawi yang terdapat di dalam
rangkaian isnad. Inilah, menurut Duri, yang medorong timbulnya sikap
kritis terhadap ruwah, perawi mereka yang meriwayatkan atau
mentransmisikan informasi. Selanjutnya, ini memperkenalkan unsur penyelidikan
dan penelitian atas berbagai riwayat dan, dengan demikian, meletakkan
dasar-dasar yang kokoh bagi studi sejarah kritis.
Penulis pertama maghazi adalah Aban Ibn 'Usman ibn 'Affan (w. 105 H/723 M)
dapat disebut sebagai simbol peralihan dari penulisan hadits kepada pengkajian al-maghazi. Menurut Azra, 'Aban mempunyai reputasi
sebagai muhaddis dan fakih, yang pada 71/689 diangkat menjadi
Gubernur Madinah oleh Khalifah Abd Al-Malik ibn Marwan. Aban menuliskan sebuah
kumpulan hadis khusus berkenaan dengan maghazi. (Duri, 1986:21)
Penanganan lebih lengkap atas maghazi
dilakukan 'Urwah ibn Zubayr (w. 94 H/712 M). Ia adalah orang pertama menulis
menulis kitab lebih baik tentang maghazi, dan kerenanya ia sering
dipandang sebagai pendiri studi maghazi. Sayang, karyanya ini hanya
tinggal dalam bentuk kutipan pada karya para sejarawan semacam Al-Thabari, Ibn
Ishaq, Al-Waqidi, Ibn Sayyid Al-Nas dan Ibn Katsir. Kutipan-kutipan mereka
merupakan tulisan paling awal tentang maghazi yang sampai ke tangan
kita.
Dari tulisan-tulisannya itu
tampaknya Urwah menulis tentang al-maghazi-nya secara berurutan mulai
dari turunnya wahyu, mulai dakwah, hijrah ke Habasyah, hijrah ke Madinah,
kemudian dilanjutkan dengan aktivitas-aktivitas di Madinah seperti akspedisi
Abdullah ibn Jahsy, perang Badar, Perang Qainuqa', Perang Khandaq, Perang Bani
Quraizhah, Perjanjian Hudaibiyah, ekspedisi Mu'tah, penaklukan Kota Mekah,
Perang Hunayn, Perang al-Tha'if, beberapa surat yang dikirim Nabi, dan
hari-hari terakhir hayat Rasulullah.
Dalam beberapa riwayatnya,
Urwah menggunakan isnad, tetapi pada sebagian lain ia tidak memakainya
sama sekali. Dalam hal terakhir kelihatannya Urwah menggabungkan sejumlah hadist
ke dalam narasi tunggal berkesinambungan. Kasus tidak digunakannya isnad
oleh Urwah tak harus mengherankan, karena pada masa Urwah (ia termasuk tabi'un
paling awal) ketentuan tentang isnad belum sepenuhnya baku. Pada masa
ini dipandang cukup kuat mengambil riwayat langsung dari tabi'un.
Dua penulis maghazi
berikutnya adalah Syurahbil Ibn Sa'ad (w. 123/741), seorang mawla dari Bani Khatmah.
dan Wahab ibn Munabbih (w. 110/728), keturunan Persia Selatan yang menetap di
Yaman. Kedua tabi'un ini dipandang tidak terpercaya. Padahal Syurahbil
sebenarnya termasuk ahli dalam hal maghazi, tetapi orang mencurigainya
sebagai suka menonjolkan pihak tertentu yang sebenarnya tidak berperan banyak
dalam sejarah Islam. Terdapat juga penilaian, hadis yang diriwayatkannya tidak
disenangi. Pada pihak lain, wahab ibn Munabbih dalam tulisan sejarahnya tidak
menggunakan isnad dan langgam bahasanya juga berbeda. Kitabnya juga
memuat khayal dan dongeng serta sangat memperhatikan isra'iliyyat
(berita-berita Yahudi dan Nasrani) dan dongeng-dongeng masa silam. Dalam
pandangan Horovitz, Wahab secara umum diakui sebagai perawi hadits yang
terpercaya (tsiqah), meski ia tidak menggunakan isnad, dan bahkan
memakai sumber-sumber Yahudi dan Kristen dalam maghazi-nya yang berjudul
kitab Al-Mubtada'. Tetapi Abbott dan Duri menyanggah penilaian Horovitz.
Keduanya menilai, Wahb ibn Munabbih bukanlah penulis terpercaya dan cermat, dan
kerena itu, laporan-laporannya tidak bernilai bagi sejarawan yang serius. Ia
tak lebih sekedar tukang cerita. Abbott dan Duri berhujjah, wahab tidak bisa
dipercaya karena ia dengan seenaknya bersandar pada cerita perjanjian lama dan isra'iliyat,
serta pada imajinasinya yang memang subur. Tetapi beberapa historiografer lebih
belakangan, seperti Ibn Ishaq, Ibn Qutayah, dan Al-Thabari, mengutip banyak
bagian karya Wahab tanpa memeriksa realibilitasnya. Selanjutnya terdapat tiga
ahli yang pada umumnya dipandang bertanggung jawab atas peningkatan dan
perluasan studi maghazi. Mereka adalah Abdullah ibn Abi Bakr ibn Hazm
(w. 130-135/747-752), 'Ashim ibn Umar ibn Qatadah (w. 120/737), dan Muhammad
ibn Muslim ibn Syihab Al-Zuhri. Ketiga tokoh ini termasuk ke dalam kelompok muhaddisun
yang memberikan perhatian khusus kepada studi maghazi. Karya-karya
mereka dengan mantap mengukuhkan kerangka bagi penulisan maghazi, materi
yang mereka gunakan menjadi bahan penting yang digunakan Ibn Ishaq dan, kemudian
olel Al-Waqidi.
Abdullah ibn Abi Bakr ibn Hazm adalah seorang
qadhi di Madinah dan perawi hadis yang berminat khusus pada maghazi. Ia
mewariskan kitab Al-Maghazi kepada kemenakannya Abd Al-Malik ibn
Muhammad (w. 176/792). Sayang sekali, kitab ini tidak atau belum ditemukan;
selain kutipan yang terdapat dalam karya Ibn Ishaq dan Al-Waqidi. Dari kutipan
itu terlihat karya Abdullah tidak terbatas pada pengertian sempit maghazi,
karena ia juga mengungkapkan masa remaja Nabi Muhammad. Menurut Al-Thabari, ia
merupakan orang pertama yang menetapkan urutan kronologis peristiwa-peristiwa
di masa Nabi; ia juga menyusun daftar perang yang dilakukan Nabi dalam urutan
kronologis, yang selanjutnya dipinjam Ibnu Ishaq di dalam karyanya. Abdullah
sangat memperhatikan khusus pada sumber-sumber yang digunakannya. Ia juga
memberikan perhatian khusus pada sumber-sumber tertulis, seperti surat Nabi
kepada seorang Pangeran Arabia Selatan dan dokumen yang diberikan Nabi kepada
kakeknya Amr ibn Hazm untuk dibawanya ke Najran ketika ia diperintahkan Nabi menyebarkan
Islam disana.
Ashim ibn Umar ibn Qatadah
adalah perawi hadits yang terpercaya. Ashim pernah ditugaskan Khalifah
Umar II (Ibn Abd Al-Aziz) menyampaikan kepada kaum Muslim, khususnya di
Damaskus, riwayat perang yang dilakukan Nabi dan amal mulia para sahabat. Ashim
merupakan salah satu sumber utama Ibn Ishaq dan Al-Waqidi. Ia juga mengunkapkan
riwayat terinci tentang masa muda dan kehidupan Nabi di Madinah. Ia sering
menyebutkan isnad-nya, tetapi tak jarang pula tidak menyebutkannya sama sekali.
Sikapnya terhadap isnad sama dengan sikap Ibn Hazm. Ashim sering pula
memasukkan pernyataan aktor-aktor utama dalam riwayat yang disampaikannya; ia
tidak berlaku sebagai sekedar pengumpul riwayat, tetapi juga menyatakan
pendapat dan penilainnya sendiri atas berbagai peristiwa.
b. Sirah
Selain al-maghazi, bentuk historiografi
awal adalah sirah Menurut Yatim, penulisan sirah lahir dari aliran
Madinah bersamaan dengan lahirnya maghazi.(Yatim, 1997: 183) Adapun
penulis sirah adalah Muhammad ibn Muslim ibn Syihab Al-Zuhri, yang
melakukan studi maghazi dalam cara yang lebih sesuai dengan metode penelitian
sejarah. Menurut Duri, al-Zuhri adalah orang pertama yang dapat disebut sebagai
sejerawan yang sebenarnya dimasa awal ini dan telah menempatkan sejarah pada
landasan yang jelas dan menggambarkan orientasi studi sejarah. Ia adalah orang pertama memakai istilah sirah,
merekontruksi sirah Nabi dengan struktur yang baku, dan menggariskan kerangka
dalam bentuk yang jelas. Tetapi ia tetap memakai istilah maghazi ketimbang sirah
sebagai judul karyanya. Dalam hal ini dia juga memulai penulisan al-maghazi
atau al-sirah dengan materi-materi yang berhubungan dengan kehidupan
Nabi sebelum kenabian, dan ada kemungkinan dia juga memberikan silsilah
keturunannnya. Setelah menyebutkan tanda-tanda kenabian, dia beralih kepada
turunnya wahyu pertama, kemudian tentang peristiwa-peristiwa penting pada
periode Mekah, dan setelah itu hijrah dan peristiwa-peristiwa penting pada
periode Madinah sampai wafatnya Rasulullah.(Duri, 1986: 99)
Pendekatan
al-Zuhri terhadap sirah pada dasarnya merupakan pendekatan seorang muhaddits.
Karena itu tidak mengherankan kalau al-Zuhri mengambil kebanyakan bahan untuk sirah
dari hadits. Metodenya dalam menyeleksi materi hadits dan riwayat lainnya
bersandar pada isnad. Sikapnya terhadap isnad merupakan sikap tipikal
muhaddits bahkan ia memainkan peranan besar dalam penekanan dan perluasan
penggunaan isnad dalam literatur hadits. Tetapi, al-Zuhri cenderung isnad kolektif; mengumpulkan berbagai riwayat kedalam
penuturan yang lancar dan berkesinambungan dengan didahului suatu daftar isnad
yang merupakan sumber asli riwayat yang diungkapkannya.
Tampaknya al-Zuhri memperhatikan rangkaian dan
kronologi sejarah, dan juga sudah mencantumkan tahun kejadian sejarah itu.
Pencantuman tahun kejadian ini sangat membantu untuk merekontruksi kerangka
buku karangan Al-Zuhri. Sayang kajian al-Sirah al-Zuhri tidak sampai ke
tangan kita hanya dalam bentuk bagian kajian al-Zuhri bisa ditemukan terutama
didalam karya Ibn Ishaq, al-Wakidi, Al-Thabari, Al-Balazduri dan Ibn Sayyid
Al-Nas.
Studi maghazi
atau zirah dikembangkan lebih lanjut oleh tiga murid Al-Zuhri: Musa ibn
Uqbah (w. 141/758), Ma'mar ibn Rasyid (96-154/714-771) dan Muhammad ibn Ishaq (w. 151/761). Musa ibn Uqbah terkenal
sebagai seorang yang banyak meiliki pengetahuan tentang al-maghazi. Ia
sangat ketat bepegang pada metode isnad dan penanggalan dan kronologis
peristiwa. Musa juga semakin menekankan pentingnya isnad dalam penulisan
karya sejarah. Karya maghazi-nya
mencakup masa al-khulafa al-rasyidun dan bahkan periode Dinasti Umaiyah.
Tetapi karyanya tentang maghazi ini dipandang sebagian ahli hanya
merupakan edisi lain dari karya al-Zuhri.
Sedangkan murid yang paling
termasyhur dari Al-Zuhri adalah Muhammad ibn Ishaq ibn Yasar, yang lebih
terkenal sebagai ibn Ishaq. Ia menyusun berjilid-jilid sirah Nabi
Muhammad dengan menggunakan materi yang amat banyak. Namun yang sampai pada
kita hanya bentuk ringkasan sirah yang ditulis oleh Ibnu Hisyam dalam
karyanya al-sirah al-Nabawiyah yang lebih dikenal dengan nama Sirah
ibn Hisyam. Dia sangat dikenal sebagai seorang ahli dalam bidang sirah
dan, oleh Muhammad Ahmad Tarhini, dipandang sebagai tonggak penting aliran
Madinah. (Tarhini, t.t: 50-1)
Dalam menyusun sirah
Nabi, Ibn Ishaq memakai berbagai sumber. Sumber utama al-mubtada' adalah
Al-Qur'an, hadis yang diriwayatkan terutama Wahb ibn Munabbih dan Ibn Abbas,
pernyataan sastrawan Yahudi dan Kristen, dan teks Biblikal. Dalam al-mab'ats,
ia hampir sepenuhnya bersandar pada hadits yang diriwayatkan Ahl Al-Madinah, dan dokumen-dokumen
tertulis lainnya. Dalam bagian ini, ia kadang-kadang memakai isnad.
Sedangkan dalam al-maghazi, ia juga memakai hadits dan isnad-nya
secara ketat.
Karya ibn Ishaq merupakan
perkembangan baru dalam tulisan sejarah di masa awal Islam. Dalam hal ini,
Duri, berpendapat bahwa perkembangan paling jelas adalah penggunaaan dan
pemaduan berbagai macam sumber oleh Ibn Ishaq, sejak dari Al-Qur'an, hadits,
riwayat historis, bahkan Isra'iliyat, kisah rakyat, dan syair. Bahkan Ibn Ishaq
sering dituduh membesar-besarkan riwayatnya dengan memperbanyak materi hadits
dengan pernyataan lain yang dikumpulkannya sendiri.
Umumnya dalam metode penulisan
sejarah, ibn Ishaq, menggunakan isnad tidak secara ketat seperti muhaddits;
baginya cukup memadai menggunakan metode isnad kolektif. Dengan begitu ia bisa
menyajikan periwayatan yang menarik. Karenanya, baik dari segi pandangnya
tentang sejarah maupun dari segi metode, Muhammad Ahmad Tarhini, menilai apa
yang telah dilakukan oleh ibn Ishaq ini sudah melampaui batas-batas metodologis
aliran Madinah. Pada ibn Ishaq mulai terjadi pergeseran dikalangan para ahli:
mereka pertama-tama adalah sejerawan baru kemudian muhadits.
Terdapat empat penulis maghazi
atau sirah lainnya: Abu Ma'syar al-Sindi (w. 170/787), Muhammad ibn Umar
al-Waqidi (130-207/748-823), Ali ibn Muhammad al-Mada'ini (135-225/753-840),
dan Muhammad ibn Sa'd (w.230/844). Dalam karyanya, yang terdapat dalam kutipan
al-Waqidi dan al-Thabari, bahwa maghazi Abu ma'syar membahas keseluruhan
riwayat Nabi. Ia dikenal menggunakan isnad dalam kebanyakan
periwayatannya. Sementara al-Madani dipercaya menyusun sekitar 240 karangan
tentang berbagai topik sejak dari sejarah Nabi sampai sejarah Dinasti Abbasiah.
Apa yang penting dari karya
al-Mada'ini bagi kita adalah bahwa ia mengikuti metode muhadits dalam
kritisismenya atas sumber-sumbernya. Metode isnad lebih kuat
mempengaruhinya ketimbang para pendahulunya. Dengannya kita melihat munculnya
orientasi kearah pengumpulan lebih komprehensif dan pengorganisasian lebih
ekstensif atas riwayat-riwayat historis. Ia meminjam lebih banyak sumber-sumber
Madinah dibandingkan para pendahulunya, dan juga memakai sumber-sumber lain
dengan baik, seperti riwayat dari masyarakat Basrah. Karena ciri khas ini,
al-Mada'ini menjadi sumber fundamental bagi sejerawan lebih belakangan, dan
riset modern mengkonfirmasikan akurasi karya-karya.
Studi maghazi atau sirah
berkembang lebih jauh dalam karya al-Waqidi.
Karya al-Waqidi yang sampai ke tangan kita adalah Al-Maghazi,
yang membatasi pembahasannya hingga kehidupan Nabi di Mekkah. Sementara
periode-periode lain dibahas dalam kitab Sirah-nya dan karya-karya lain.
Al-Waqidi
mengikuti perencanaan baku dalam penyajiannya atas maghazi. Ia mulai
dengan daftar sumber primernya; tanggal kronologis pengiriman dari dan kembalinya ekspedisi militer Nabi ke
Madinah; dan nama orang-orang yang
berada di Madinah selama Nabi pergi. Dalam menulis Al-Maghazi, al-Waqidi
menggunakan seluruh sumber yang dapat dikumpulkannya, ia menawarkan banyak
sekali bahan yang tidak ditemukan sama sekali dalam karya ibn Ishaq. Karenanya,
Al-Maghazi karya al-Waqidi memberikan riwayat yang jauh lebih kaya
tentang periode Madinah ketimbang karya Ibn Ishaq, meski sebagian dari riwayat
itu sebenarnya lebih menyangkut persoalan hukum daripada perkembangan historis.
Dalam metode penulisannya,
seperti tampak dari karyanya al-maghazi ini, ia menyebutkan
sumber-sumber periwayatan secara umum saja. Dalam hal ini, Badri Yatim, melihat
bahwa al-Waqidi merusaha melepaskan corak penulisan sejarah dari corak
penulisan hadits. Oleh karena itulah ia tidak begitu taat menggunakan metode isnad,
sebagaimana yang berlaku dalam periwayatan hadits. Disamping itu al-Waqidi juga sangat kritis
terhadap sumber-sumbernya. Ia memeriksa sangat hati-hati segala sumber yang
dihadapinya; mencari dokumen-dokumen baru; dan menyiapkan daftar nama mereka
yang ikut dalam ekspedisi militer. Ia bahkan melakukan perjalanan ke berbagai
medan tempur untuk menyesuaikan riwayat yang ada dengan situasi aktual di
lapangan. Melihat metode al-Waqidi, Gibb, menyimpulkan bahwa ilmu sejarah yang
berasal dari hadits mendekati cara pengumpulan meteri sejarah sebagaimana
dilakukan dalam filologi, sementara mempertahankan metode penyajian tradisionalnya
yang khas.
Pengarang maghazi atau sirah
terakhir disinggung adalah Ibn Sa'd yang juga dikenal sebagai sekretaris
Al-Waqidi. Ibn Sa'ad menulis dua buku: Kitab Akhbar Al-Nabi dan Kitab
Thabaqat al-Kabir. Dalam pendahuluan buku ini mengungkapkan sejarah
Nabi-nabi terdahulu, yang kemudian diikuti riwayat masa kanak-kanak Nabi
Muhammad sampai hijrah ke Madinah.
Sementara pada buku yang lain mengabdikan pada pertempuran-pertempuran yang
dihadapi nabi atau maghazi dalam pengertian sempit. Sedangkan bagian
kedua volume ini memberikan kesimpulan tentang biografi pribadi Nabi.
Dalam menyusun kitab-kitabnya
Ibn Sa'ad banyak bersandar pada karya Al-Waqidi. Tetapi ia melampaui Al-Waqidi
dalam pengorganisasian dan pembagian sistematik karyanya ke dalam bab-bab. Ia
juga memperkenalkan penambahan penting kepada studi sirah dengan
menambahkan bagian-bagian tentang
"tanda misi kenabian" (alamat al-nubuwwah), dan tentang sifat
kebiasaan dan karasteristik Nabi (sifat akhlaq Al-Nabi). Perkembangan
ini, menurut Gibb, merupakan satu tahap lebih maju dalam penyatuan unsur hadits
asli dengan arus kedua tradisi literatus—seperti terlihat Ibn Ishaq—yang
bertumpu pada seni iisah rakyat seperti dikembangkan Wahb ibn Munabbih.(Gibb,
1938: 113)
Dengan arah baru sirah ini, karya
Ibn Sa'ad akhirnya secara kuat memapankan struktur sejarah kehidupan Nabi.
Seluruh sirah yang ditulis sesudah itu mengikuti kerangka yang sama dan
bersandar terutama pada bahan-bahan yang disajikan dalam karya-karya yang
disebutkan di atas.
c. Asma' Al-Rijal
Literatur hadits menghasilkan tidak hanya maghazi
dan sirah Nabi, tetapi juga biografi para sahabat, tabi'un
dan tabi' al-tabi'in. Biografi semacam ini secara umum dikenal sebagai asma'
al-rijal—yang secara harfiah berarti "nama-nama para tokoh".
Penulis pertama tentang asma'
al-rijal adalah Layts ibn Sa'ad (w. 175 H/791 M). Layts
mempunyai reputasi sebagai fukaha dan muhaddits yang terpandang
dari mazhab Maliki. Ia menyusun sebuat kitab berjudul Kitab Al-Tarikh.
Di antara karya dalam bidang ini pada abad kedua Hijriyah adalah kitab Al-Thabaqat,
Kitab Ta'rikh Al-Fuqaha wa Al Muhadditsin, dan kitab Tasmiyat
Al-Fuqaha' wa Al-Muhadditsin. Yang terpenting di antara mereka adalah Thabaqat
Al-Fuqaha' wa Al-Muhadditsin karya Al-Haytam ibn 'Adi. yang merupakan
sumber penting bagi penulis-penulis belakangan, seperti Ibn Sa'ad (w.230/844),
Ibn Al-Khayyat (w. 240/854), dan lain-lain.
Karya-karya tentang asma'
al-rijal terus meningkat setelah abad kedua hijriyah. dalam abad ketiga
hijriyah tidak hanya berbagai spesialis dalam bidang ini seperti Ibn Sa'ad, Ibn
Al-Khayyat, Ahmad ibn Zuhayr ibn Abi Khaytama, tetapi juga hampir muhaddits
terkemuka secara simultan dengan kumpulan hadits mengumpulkan pula biografi
para perawi mereka.
Salah satu karya asma'
al-rijal terpenting adalah kitab Ibn Sa'ad berjudul Kitab Thabaqat
Al-Kabir, yang merupakan karya paling awal kita terima. Kitab ini
mengandung catatan biografis singkat para perawi terpenting pada masa
terpenting pula dalam hadits. Kitab ini bahkan mencakup pemimpin-pemimpin
politik pada masa yang sama. Ibn Sa'ad dalam karya ini melukiskan perbedaan di
antara metode entry biografi bagi pemimpin politik awal dengan metode
bagi muhaddits. Karyanya digunakan sebagai sumber penting bagi penulis
terkenal semacam Al-Balazduri, Al-Thabari, Al-Khatib Al-Baghdadi, Ibn Katsir,
Al-Nawawi, Ibn Hajar, dan lain-lain.
Kitab Thabaqat Al-Kabir
karya Ibn Sa'ad ini segera diikuti oleh Kitab Al-Ta'rikh Al-Kabir karya
Al-Bukhari, yang sangat terkenal kerena otoritasnya dalam ilmu hadits. Di dalam
buku ini, ia mengumpulkan biografi para perawi pada umumnya, tetapi diketahui,
naskah lengkap karya ini tak dapat ditemukan lagi. Hanya berbagai bagiannya
yang disimpan di perpustakaan-perpustakaan tertentu.
Al-Bukhari diikuti banyak
pengarang dalam berbagai periode sejarah Islam, sehingga menghasilkan literatur
asma' al-rijal yang luar biasa banyak. Diantara yang terpenting adalah
Ibn Al-Atsir ('Izz Al-Din Muhammad, 555-630/1160-1230) dengan karyanya Usd
Al-Ghabah; dan Ibn Hajar Al-Asqalani (Syihab Al-Din Abdu Fadhi, 1371-1448)
dengan karya-karya komprehenshif dalam bidang ini, berjudul Al-Ishabah fi
Tamyiz Al-Shahabah dan Thdzib Al-Tahzhib. Ketiga karya ini pada
umumnya diterima muhadditsun sebagai otoritas yang terpercaya dalam asma'
al-rijal.(Siddiqy, 1961: 178-9)
Karya-karya asma' al-rijal
jelas membentuk pertumbuhan historiografi awal Islam. Berbagai kamus biografi
yang disebutkan di atas sangat diperlukan bagi setiap orang yang ingin menulis
sejarah Islam pada masa-masa awal. menurut Gibb, yang ditulis oleh Azea,
menyatakan bahwa konsepsi kamus biografi semacam itu menandai perkembangan baru
dalam seni sejarah, dan sekaligus mengilustrasikan hubungan yang erat antara
sejarah dengan ilmu hadits, karena ia semula dukumpulkan terutama untuk kepentingan
kritik hadits.( Gibb, 1938: 113)
Dari uraian di atas jelaslah,
kemunculan historiografi awal Islam berkaiatan erat dengan perkembangan
doktrinal dan sosial Islam itu sendiri.
Para penulis historiografi paling
awal dalam sejarah Islam hampir secara keseluruhan adalah muhaddistun.
Kesadaran dan kepedulian mereka terhadap kemurnian dan kelestarian misi
historis Nabi Muhammad mendorong mereka untuk mengabdikan diri pada studi
hadits. Inilah yang kemudian memunculkan pengumpulan dan penulisan hadits, baik
yang bersifat hukum maupun historis. Hadits historis pada gilirannya memberikan
bahan melimpah untuk penulisan sejarah kehidupan Nabi dalam bentuk maghazi dan
sirah, yang selanjutnya diikuti dengan pengumpulan riwayat orang-orang
yang terlibat dalam proses transmisi hadits. Maghazi, sirah, dan asma'
al-rijal merupakan bentuk historiografi paling awal dalam sejarah Islam.
Sumbangan hadits kepada
pembentukan pembentukan historiografi awal Islam tidak terbatas pada sekedar
penyediaan bahan yang luar biasa banyak untuk penulisan maghazi dan sirah,
tetapi dalam membentuk metode penulisan historiografi itu sendiri. Metode isnad
yang terus semakin penting dalam ilmu hadits segera diterapkan pula dalam
penulisan historiografi awal Islam.
Penekanan kuat para muhaddits
atas metode kronologis juga sangat mempengaruhi metode penulisan historiografi
awal Islam. Ini mewujudkan diri dalam penulisan sejarah berdasarkan serangkaian
thabaqat, urutan peristiwa, kesinambungan pra-khalifah dalam dinasti-dinasti.
Metode ini berpuncak pada sejarah annalistic—ditulis berdasarkan tahun,
seperti kitab, misalnya, dalam Ta'rikh Thabari. Ini mencerminkan sifat
utama historiografer awal Islam; mereka menulis sejarah di bawah pengaruh sudut
pandang teologis. Mereka percaya bahwa pengungkapan tujuan Ilahiah di muka bumi
terjadi melalui fenomena historis atau berbagai peristiwa di dalam masyarakat
Muslim. Dengan kata lain, mereka mencoba menafsirkan sejarah dalam kerangka
rencana Tuhan, yang terungkap melalui berbagai peristiwa historis. Hanya dalam
bagian akhir karya Al-Thabari, kita melihat indikasi bahwa pendekatan
"hadits murni" tidak lagi memadai. Al-Mas'udi yang muncul lebih
belakang mempertegas terjadinya pergeseran dan pendekatan terhadap sejarah.
Demikian, meski Al-Mas'udi mempertahankan penggunaaan isnad dalam
karya-karyanya, ia juga mulai melihat sejarah dari sudut pandang sosiologis.
- Perkembangan Metode Penulisan Sejarah Dalam Islam
Sebagaimana sudah dijelaskan,
di kalangan kaum Muslimin penulisan sejarah pertama-pertama didasarkan pada perhatian
terhadap riwayat dan sanad-sanad. Selain berdasarkan riwayat,
muncul lagi metode penulisan sejarah dengan pendekatan kronologis yang kemudian
dikenal dengan sejarah annalistic, ditulis berdasarkan tahun. Pengkajian
sejarah kemudian mengalami pergeseran dan pendekatan yang tidak lagi
mempertahankan penggunaan isnad tapi juga mulai melihat sejarah dari sudut
pandang sosiologis. Dalam pndangan baru historiografi Islam ini dimulai dari
Al-Mas'udi dan mencapai puncaknya di tangan Ibn Khaldun. Oleh karena
itu, menurut 'Effat al-Sharqawi, perkembangan itu dapat dibagi menjadi dua:
Pertama, historiografi dengan riwayat dan historiografi dengan
dirayat.(’Effat al-Sharqawi, 1986: 240)
a.
Historiografi dengan Riwayat
Seperti
yang dijelaskan sebelumnya, bahwa munculnya historiografi awal Islam berangkat
dari para ahli hadits generasi-generasi pertama di kalangan kaum muslimin.
Merekalah yang dipandang sebagai para sejarawan pertama dalam Islam, karena
merekalah yang paling besar perhatiannya dalam mengkaji berbagai peperangan dan
berita tentang Rasulullah saw. Mereka juga telah berhasil menciptakan suatu
metoda yang menghubungkan suatu informasi sejarah (riwayat) dengan
sumber-sumbernya, yang menurut ukuran sekarang, bisa dipandang memenuhi ideal
penelitian historis dan ketelitian ilmiah. Seorang sejarawan dalam
mengkaji sejarah akan memulai kajiannya
dengan meneliti validitas informasi sejarah yang diperolehnya,
memperbandingkannya dengan informasi-informasi lain, lalu mengambil keputusan
tentang validitas informasi-informasi (berita, riwayat) itu, berdasarkan
orisinalitas data dan ketelitian penutur (perawi) dalam mendeskripsikan
peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lalu. Dalam hal ini, metoda para
ahli hadis, ketelitian, keadilan, dan selektifitas terhadap penutur, sangat
membantu para sejarawan.
Karena itu, menurut 'Effat
al-Sharqawi, pertumbuhan awal ilmu sejarah di kalangan kaum muslimin bercampur aduk dengan ilmu hadits
dari segi materi dan metodenya. Adapun materinya berputar diseputar kisah Nabi
Muhammad saw. dan peperangan kaum Muslimin dan kisah mereka. Sedangkan
metodenya lebih diarahkan untuk mengemukakkan sanad-sanad dan mengukuhkan
riwayatnya dalam mendiskripsikan setiap berita. Meskipun kata peperangan (maghazi)
secara epistimologis berkenaan dengan perang yang dilakukan Rasulullah Saw,
namun buku-buku tentang peperangan pada umumnya membahas masa kenabian
seluruhnya.
Urwah ibn al-Zubayr dalam
karyanya tentang al-maghazi, misalnya, mengemukakan sanad-sanad. Ia
sangat terpandang sebagai ahli dalam hadits dan salah seorang dari "tujuh
fukhaha" terkemuka di Madinah. Kemudian, pelanjut dari Urwah dan
sekaligus muridnya, yaitu Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al-Zuhri (w. 124 H/
741 M), adalah seorang ahli hadits yang
mengambil sebagaian besar materi sejarah dari Nabi.
Dari segi ketelitian, kejelasan, dan
kejujuran, kisah-kisah para sejarawan awal ini lebih dekat dengan metode para
ahli hadits, kerena, sebagai ahli hadits, mereka dikenal memiliki sikap menahan
diri dari uraian yang berlebih-lebihan. Oleh karena itulah, mereka, para ahli
hadits itu, mengkritik pedas kitab al-sirah, karya Ibn Ishaq. Namun
karya Ibnu Hisyam (w.218 H), merupakan hasil karya Ibn Ishaq yang sudah diedit
dengan membuang riwayat yang lemah khususnya yang berkenaan dengan bagian
"permulaan" yang menguraikan sejarah Zaman jahiliyah yang berlangsung
sejak penciptaan alam semesta. Ia juga mebuang syair-syair dan merombak
metodenya sehingga lebih dekat dengan metode para ahli hadits.
Penulisan sejarah dengan
metode riwayat semakin menunjukkan bentuknya sebagai ilmu yang mandiri terjadi
pada abad ke-3 H, di tangan Al-Thabari. Ia adalah tokoh historiografi yang
terkenal dengan mengguynakan metode riwayat, yang warisannya merentang
selama tiga abad sebelumnya. Dalam menulis sejarah, ia tetap tidak bisa
melepaskan diri dari metode ahli hadits dan menolak pendapat bahwa seseorang
sejarawan bisa mempergunakan logika, analogi, atau deduksi. Dia sangat
konsisten pada apa yang ia dengar dalam penelitian sejarah tanpa menggunakan
logika dan deduksi.
Menurut konsepsi historiografi
dengan riwayat seperti yang di praktekkan al-Thabari ini, metode sejarah
pertama-tama adalah pengecekan riwayat, penelitian teks-teks, dan pengkajian
terhadap sanad, dan baru setelah itu tinjauan terhadap kandungan apa
yang dituturkan dan kontemplasi filosofis atau metodis terhadap isinya.
Berkenaan dengan hal ini
al-Thabari di dalam pengantar kitabnya Tarikh al-Rusul wa al Muluk
berkomentar bahwa tulisan sejarahnya bersumber dari hadits-hadits dan atsar-atsar
yang disandarkan pada penuturnya tanpa adanya argumentasi-argumentasi logika
dan deduksi, kecuali sedikit sekali. Dengan demikian, informasi-informasi
sejarah yang disampaikan al-Thabari adalah sesuai dengan apa yang dituturkan
penuturnya, dan disampaikan secara netral dan obyektif. al-Thabari, seperti
halnya para ahli hadits, menganggap absah suatu riwayat atau kisah apabila
sanadnya bersambung dan dekatnya riwayat itu dengan asal, atau apabila sanadnya
bermula dari seseorang yang dekat dengan peristiwa sejarah yang dikemukakan.
Demikianlah metode al-Thabari
dalam sejarah, sama seperti metode ilmu hadits pada umumnya ketika itu, yang
lebih diarahkan pada sanad, dan kritik terhadap para penuturnya, tanpa
meneliti isi dari teks yang dituturkan. Ini karena, menurut seorang ahli hadits,
berpegang pada kredibilitas para penutur saja sudah cukup. Khususnya apabila
kandungan dan sisi riwayat, atau kisah, tidak ada yang bertentangan dengan apa
yang terkandung dalam al-Qur'an.
Sebagian para peneliti
mengkritik al-Thabari kerena ketergantungannya kepada riwayat itu, seolah-oleh
dia tidak melakukan ta'dil dan tarjih seperti yang dilakukan para ahli hadits.
Salah satunya adalah 'Effat al-Sharqawi, yang mengatakan bahwa metode sejarah
yang hanya didasarkan pada riwayat saja adakalanya menimbulkan sejumlah
problem, yang berkenaan dengan sumber-sumber penelitian.
Al-Thabari memang selalu berupaya mengemukakan
kredibilitas sanad-sanadnya. namun, tidaklah semua fakta sejarah yang
dikemuykannya bisa ditelusuri lewat rangkaian sanad, sampai pada masa suatu
peristiwa yang berlangsung di masa silam. Misalnya saja perisrtiwa-peristiwa
sejarah yang terjadi sebelum turunnya al-Qur'an, dan kenabian Muhammad saw.
Al-Thabari, pada waktu mengemukakan teks-teks yang berkenaan dengan
peristiwa-peristiwa itu, mengacui pada kitab-kitab tafsir yang sebagian di
antaranya memuat kisah-kisah Isra'iliyat.
Itulah salah satu problem
besar yang dihadapi para sejarawan Muslim pada fase pertama, yang mendasarkan
diri pada historiografi dengan riwayat, yakni historiografi yang sebagian besar
perhatiannya diarahkan pada riwayat dan sanad serta membuat
konsepsi sejarah berdasarkan konsepsi ilmu hadits.
- Historiografi dengan Dirayah
Perkembangan metode sejarah
itu berlansung sejalan dengan perkembangan pemikiran dalam sejarah Islam. kalau
pada masa al-Thabari dan sebelumnya, penulisan sejarah didasarkan pada riwayat
dan sangat tergantung pada apa yang dituturkan, maka pada masa sesudahnya mulai
muncul upaya untuk merujuk langsung pada sumber-sumber pertama. Selain itu,
para sejarawan juga memperhatikan berbagai faktor yang mempunyai dampak besar
terhadap gerak sejarah.
Perkembangan seperti itulah
yang melahirkan hostoriografi dengan dirayah. Menurut Badri Yatim, historiografi
dirayah adalah metode sejarah yang menaruh perhatian terhadap pengetahuan
secara langsung dari satu segi, dan interpretasi rasional dari segi lain.
Metode ini melengkapi metode historiografi dengan riwayat sebelumnya.
Historiografi dengan dirayah juga menaruh perhatian terhadap isi teks sejarah
yang dituturkan, tetapi teks itu baru diterima setelah melalui kritik
intelektual dan rasional.
Para sejarawan historiografi
dengan dirayah ini memiliki wawasan historis yang komprehensif, yaitu menaruh
perhatian terhadap pengalaman, penyaksian, dan pengamatan secara langsung,
disamping perhatian terhadap riwayat yang dituturkan. Jadi, dibandingkan dengan
historiografi dengan riwayat, historiografi dengan dirayah dilengkapi dengan
perhatian yang besar terhadap variabel-variabel yang menetukan gerak sejarah.
Dengan demikian para sejarawan, abad-abad keempat dan kelima Hijriah lebih
menaruh perhatian terhadap realitas kegiatan manusia yang menurut mereka,
terpengaruh oleh kondisi-kondisi geografis, iklim, dan sosial.
Historiografi dengan dirayah
ini mengalami perkembangan dari masa kemasa, dan mencapai puncaknya pada Ibn
Khaldun. Untuk melihat perkembanagn itu, kita akan melihat dan mengkaji karya
beberapa sejarawan muslim yang secara signifikan memberi saham pada
perkembangan ini. Yang pertama dan dipandang sebagai pelopornya adalah al-Mas'udi
(w. 345 H) yang hampir semasa dengan al-Thabari. Pendekatan metode dirayahnya
dapat dijumpai dalam karya-karya sejarahnya yang sampai ke tangan generasi
kita, diantaranya adalah Muruj al-Dzahab dan al-Tanbih wa al-Isyraf.
Disamping seorang sejarawan, al-Mas'udi juga dikenal sebagai seorang pengembara
(al-rahalah). Melalui pengembaraan (rihlah)-nya, dia menghimpun
materi sejarah dari kawasan-kawasan yang luas sekali. Dalam pembahasannya
mengenai persoalan-persoalan sejarah, ia menaruh perhatian terhadap dampak
iklim dan lingkungan geografis.
Selama perantauannya, ia tidak
henti-hentinya mengadakan penelitian dan menuntut ilmu pengetahuan, sehingga
terhimpunlah fakta dan data sejarah serta geografi, yang belum pernah dihimpun
oleh siapaun. Dengan demikian data sejarah yang dihimpunnya adalah data-data
yang obyektif. Dalam kebudayaan Islam, mungkin al-Mas'udi-lah yang pertama kali
membina metode sejarah yang didasarkan pada metode yang obyektif itu.
Disamping itu, dalam corak
penulisan sejarah dia juga melakukan pembaharuan. Sebelumnya corak penulisan
sejarah yang paling populer adalah corak hawiyat, yaitu penulisan
sejarah dengan menggunakan pendekatan kronologi peristiwa sejarah yang
didasarkan pada urutan tahun terjadinya peristuiwa-peristiwa itu. Berbeda
dengan corak seperti itu. al-Mas'udi menyususn karyanya Muruj al-Dzahab
sesuai dengan urutan negara, raja, dan bangsa. Dengan demikian, dia sudah
menggunakan corak tematik (al-Tarikh hasb al-maudhu'a). Corak ini besar
dampaknya terhadap tulisan-tulisan para sejarawan setelahnya, khususnya Ibn
Khaldun.
Dengan demikian al-Mas'udi
telah mengajukan suatu metode baru, yang tidak hanya terbatas pada berita
sejarah saja, tetapi juga berupaya mencatat pengalaman langsung dan pengamatan
teliti disertai tinjauan tuntas, yang tidak memisahkan antara manusia dan
lingkungan kultural, geografis, dan ekonominya. Dengan demikian al-Mas'udi
mengkritik para sejerawan yang mencukupkan diri pada riwayat, tanpa berupaya
mengamati peristiwa sejarah secara langsung, dan ia merasa bangga dengan apa
yang dilakukannya itu.
Perubahan yang telah dilakukan
oleh al-Mas'udi itu telah berjasa memperkaya metode sejarah dikalangan kaum
muslimin. Kepada al-Mas'udi dinisbatkan kepoloporan dalam pengembangan metode
sejarah, dari sekedar berbentuk diskripsi historis-politis yang terbatas pada
apa yang ada dalam sanad-sanad, menjadi sejarah kebudayaan
masyarakat-masyarakat manusia di dunia ini pada umumnya.
Sejarawan kedua yang mebri
saham besar dalam perkembangan metode historiografi dengan dirayah adalah Ibn
Miskawayh (w. 421 H/1030 M). Karya sejarahnya berjudul Tajarib al-Umam wa Ta'aqub al-Humam.
Karyanya ini telah diterbitkan ulang di Kairo, Mesir pada tahun 1915-1916 dalam
tiga jilid, dan sudah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh
Margoliouth dan Amedroz dengan judul The Elipse of the Abbasid-Caliphate
dan dipublikasikan pada tahun 1920-1921.
Dalam uraiannya tentang sejarah Islam, Ibn
Miskawayh mendasarkan mendasarkan diri pada karya al-Thabari, tetapi dengan
membuang sanad-sanadnya, meringkas riwayat-riwayatnya, dan sengaja memilih
riwayat-riwayat yang memiliki nilai historis. Semuanya itu kemudian ia sajikan
dengan ringkas dan sistematis. Ibn Miskawayh melalui karyanya itu lebih banyak
menaruh perhatian terhadap moral dan filsafatnya, dan sangat besar perhatiannya
terhadap masalah politik, dengan maksud agar mengetahui hal ihwal para raja dan
menteri sekitarnya. Bahkan dalam pandangan 'Effat al-Sharqawi, Ibn Maskawayh
kadang-kadang dalam karyanya mengemukakan hal-hal yang tampaknya remeh, tapi
mengandung pelakaran besar.
Dengan demikian pengamatan
eksperimental dan penelitian secara langsung, yang dilakukan al-Mas'udi, dalam
historiografi dengan dirayah itu diperkaya lagi dengan pengamatan terhadap
makna sejarah sendiri sebagai pelajaran moral yang didayagunkan Ibn Maskawayh
demi tujuan filosofis dan praktis.
Ringkasnya, kalau al-Mas'udi
memberi saham kepada historiografi dengan dirayah dengan memakai metode
ekspremen langsung dan pengamatan pribadi, Ibn Miskawayh menambahkan metode
kontemplasi teoritis dan renungan intelektual.
Tokoh sejarawan lain yang juga
memberi saham besar terhadap pengembangan historiografi dengan Dirayah
adalah al-Biruni (w. 448 H), yang menggunakan pendekatan analitik kebudayaan
yang komprehesif. Dalam bukunya al-Atsar al-Baqiyyah an al-Qurun al-Khaliyah
dan Tahqiq Ma li al-Hind Min Maqulah Maqbulah fi al-Aql aw Mardzulah
merupakan hasil penelitiannya selama tinggal di India. Di India, al-Biruni
memperoleh kesempatan untuk mempelajarihal ihwal orang-orang India, filsafat
dan bahasa mereka, membaca puisi mereka, meneliti tradisi dan kebudayaan
mereka, dan mengaji berbagai sistem kehidupan, yang mengantarkannya mampu
meneliti dan mengkaji relung filsafat India.
Dengan demikian al-Biruni
mengembangkan suatu langkah baru dalam perkembangan historiografi dengan
dirayah di kalangan kaum muslimin, setelah al-Mas'udi dan Ibn Maskawayh. Jadi
apabila al-Mas'udi menaruh perhatian terhadap pengamatan dan ekspremen, dan Ibn
Miskawayh menaruh perhatian terhadap renungan intelektual dalam pelajaran
sejarah, maka al-Biruni melengkapi semuanya itu dengan perhatian yang besar
terhadap persoalan metode ilmiah sejarah.
Tokoh sejarawan Muslim lainnya
yang juga memberi saham besar mungkin malah terbesar dan paling terkenal,
terhadap pengembangan historiografi dengan dirayah adalah Ibn Kaldun. Ia
memperkenalkan interpretasi sosial yang integral dalam melihat peristiwa
sejarah, dan memandang pahlawan sebagai jawaban sosial yang riil terhadap
tantangan masanya. Karena itu Ibn Khaldun berupaya mengkaji hubungan antara
lingkungan dengan kehidupan sosial, gejala-gejala ekonomis, dan berupaya
menginterpretasikan hukum-hukum yang mengendalikannya. Menurutnya, masyarakat
manusia merupakan kelompok politik, dimana sistem pilitik di dalamnya berkaitan
erat dengan corak-corak geografis dan ekonomis.
Dalam metode pemikitan
sejarahnya, Ibn Khaldun berupaya menemukan hukum umum yang mengendalikan
perkembangan. Ia melakukan suatu pekerjaan inovatif, yang belum pernah
dilakukan orang sebelumnya. Di samping sebagai berita masa lalu, sejarah,
menurutnya, secara batiniah "merupakan tinjauan" penelitian, dan
analisa tentang manusia dan prinsip-prinsipnya dan ilmu yang mendalam tentang
hal ihwal peristiwa sejarah dan faktor penyebabnya. Menurutnya, sejarah bukan
hanya merupakan kisah tentang orang-orang terdahulu, untuk disuriteladani,
diambil hikmahnya, dan menjadi hiburan belaka, tetapi pada subtansinya
merupakan filsafat yang mendalam, tentang hukum-hukum kemasyarakatan.
Berkenaan dengan hukum-hukum
umum yang mengendalikan sejarah itu dapat dilihat pada buku pertamanya yang
lebih dikenal dengan al-Muqaddimah. Dalam buku al-Muqaddimah ini
Ibn Khaldun menyatakan bahwa salah sartu sebab kekeliuran yang menimpa para
sejarawan adalah tidak mengetahui dan menguasai prinsip-prinsip dan hukum-hukum
kebiasaan dan politik, karakter kebudayaan, dan hal ihwal dalam masyarakat
manusia. Seringkali para sejarawan terjatuh dalam kekeliruan-kekeluruan dalam
menulis kisah sejarah karena tidak memperhatikan tabiat-tabiat makhluk pada
umumnya dan manusia pada khususnya.(Ibn Khaldun, 2000: 6)
Dalam karyanya itu, Ibn
Khaldun berupaya menekankan interpretasi kultural terhadap sejarah. Mungkin
karakteristik terpenting dari metoda Ibn Khaldun adalah perhatiannya yang besar
terhadap hukum-hukum sosial, dalam mana fenomena-fenomena historis tunduk
padanya. Fenomena sejarah, menurut Ibn Khaldun, dikendalikan oleh hukum-hukum
tetap yang konstan, seperti halnya fenomena-fenomena alam. Ini berarti bahwa
setiap peristiwa pasti memiliki karakter dan kondisi-kondisi spesifik.
Jadi, jelas bahwa perhatiannya
terhadap interpretasi sosial terhadap sejarah, dengan berdasarkan
prinsip-prinsip kebudayaan dan hukum-hukum perkembangan. Teori ini secara
ringkasnya, seperti dikemukakan Ibn Khaldun, lebih cenderung pada interpretasi
sosial terhadap sejarah, daripada interpretasi herois terhadap sejarah. Lebih
jauh lagi teori ini, mengukuhkan kausalitas sosial dan kultural.
C.
Kesimpulan
Dari uraian di
atas jelaslah, metode penulisan sejarah awal Islam adalah metode riwayat, yang
lebih diarahkan pada sanad, dan kritik terhadap para penuturnya, tanpa
meneliti isi dari teks yang dituturkan. Pertumbuhan awal ilmu sejarah dikalangan kaum muslimin bercampur aduk dengan
ilmu hadits dari segi materi dan metodenya.
Itulah salah satu problem
besar yang dihadapi para sejarawan Muslim pada fase pertama, yang mendasarkan
diri pada historiografi dengan riwayat, yakni historiografi yang sebagian besar
perhatiannya diarahkan pada riwayat dan sanad serta membuat
konsepsi sejarah berdasarkan konsepsi ilmu hadits.
Namun pada masa selanjutnya,
muncullah penulisan sejarah dengan metode dirayah yakni metode sejarah
yang menaruh perhatian terhadap pengetahuan secara langsung dari satu segi, dan
interpretasi rasional dari segi lain. Metode ini melengkapi metode
historiografi dengan riwayat sebelumnya. Historiografi dengan dirayah juga
menaruh perhatian terhadap isi teks sejarah yang dituturkan, tetapi teks itu
baru diterima setelah melalui kritik intelektual dan rasional.
Dalam metode dirayah
ini, sejerawan, dituntut memiliki wawasan historis yang komprehensif yakni
tidak hanya melihat dari sisi riwayat yang dituturkan akan tetapi harus menaruh
perhatian terhadap pengalaman, penyaksian, dan pengamatan secara langsung. Jadi,
dibandingkan dengan historiografi dengan riwayat, historiografi dengan dirayah
dilengkapi dengan perhatian yang besar terhadap variabel-variabel yang
menetukan gerak sejarah.
Disamping itu, metode dirayah
ini mempunyai perhatian yang besar terhadap interpretasi sosial dalam sejarah,
dengan berdasarkan prinsip-prinsip kebudayaan dan hukum-hukum perkembangan
masyarakat. Teori ini secara ringkasnya, lebih cenderung pada interpretasi
sosial terhadap sejarah, daripada interpretasi herois terhadap sejarah.
DAFTAR PUSTAKA
Walther Baune, "Historical Consciousness in Islam", dalam G.
E. von Grunebaum (ed.), Theology and Law in Islam, Weisbaden :1971
F. Eosenthal, A History of Muslim Historiography, 2ndm, Leiden: 18ff,
1968
Josef Horovistz cs. "Muslim
Historiography", Introduction to Classical Arabic Literature, New
york: Twayne Publisher, 1974
M. M. Azami, Studies in
Hadits Methodology and Literature, Indianapolis: 1977
M. Zubayr Siddiqy, Hadith
Literature: Its Origin, Developmen, Special Features and Criticism, Calcutta:
1961
A.A. Duri, The Rise of
Historical Writing among the Arab (Princeton: Princeton University Press,
1986
Azyumardi Azra,
"peranan Hadits dalam Perkembangan Historiografi Awal Islam", Orasi Ilmiah
disampaikan dalam Dies Natalis ke-36 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 31 Juli
1993.
Abd. al-Aziz al-Duri, Bahts fi Nasy'ah 'Ilm al-Tarikh 'ind al-'Arab,
Beirut: Dar al-Masyriq, 1986
Muhammad Ahmad Tarhini, al-Mu'arrikun
wa al-tarikh 'ind al-Arab, Beirut: Dar
al-Kutubal-Islamiyah, tth
'Effat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, Bandung: Penerbit
Pustaka, 1986
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2003
Azyumardi Azra,
“Historiografi Islam Indonesia: Antara Sejarah Sosial, Sejarah Total, dan
Sejarah Pinggir”, Menjadi Indonesia: 13
Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, Jakarta: Mizan, 2006
H.A.R.
Gibb, "Tarikh", Encyclopaedia of Islam, Suplement, (Leiden:
1938)
Casinos Near Me - Casino Near Me - MapYRO
BalasHapusFind Casinos Near Me, ranked by popularity and contact 세종특별자치 출장안마 information. Casinos 공주 출장마사지 Near 김포 출장마사지 Me. Find the best 원주 출장샵 Casinos near you 광명 출장샵 in the area and if you are looking for