Pages

Minggu, 28 April 2013

KALAM MODERN: KRITIK TERHADAP KALAM TRADISONAL



Oleh: Syafieh, M. Fil. I

A.      Pendahuluan

Pembahasan Kalam yang selama ini di bicarakan oleh Mutakallimin bukan berarti tidak mempunyai kelemahan. Kalau diperhatikan dengan cermat paling tidak ada tiga hal yang membutuhkan kritikan. Diantaranya adalah dari aspek epistemologi, aspek ontologi, dan Aspek aksiologi.

Kritik epistemologi dalam ilmu kalam terdapat pada cara yang digunakan oleh para pemuka aliran kalam menyelesaikan persoalan kalam, terutama ketika mereka menafsirkan Al Qur’an. Bahkan demi membela sudut pandang tertentu, penafsiran-penafsiran teologis umumnya telah mendekati Al Qur’an secara atomistik dan parsial serta  terlepas dari konteks kesejarahan dan kesusastraannya.

Aspek Ontologi ilmu kalam hanya berkisar pada persoalan-persoalan ketuhanan dan yang berkaitan dengannya yang berkesan  “mengawang-awang” dan jauh dari persoalan kehidupan manusia. Kalaupun tetap dpertahankan bahwa diskursus aliran kalam juga menyentuh persoalan kehidupan manusia, persoalan itu adalah sesuatu yang terjadi pada masa lampau.

Sedangkan kritik aspek Askiologi  menyangkut pada kegunaan ilmu itu sendiri dalam menyingkap hakikat kebenaran. Muhammad Abduh mempunyai kesan yang hamper sam dengan pendahulunya. Dengan  menyitir sebuah hadis, “tafakkaru fi khalqillahi…….”,ia beranggapan bahwa objek penelaahan dan penelitian akal pikiran manusia, pada dasarnya adalah sifat-sifat dasar dari segala fenomena yang ditemui dalam kehidupannya. Dari penelitian sifat dasar tersebut, akan ditemukan hukum-hukum sebab akibat yang melatarbelakanginya. Di luar wilayah itu, akal pikiran tidak dapat menembusnya.

Dibawah ini akan di paparkan tentang analisa kritik terhadap ilmu kalam, agar kita dapat memperbaiki kalam yang berwawasan mooden.

B.       Sumber Kebenaran.

Semua aliran dalam pemikiran kalam berpegang  kepada wahyu sebagai sumber pokok. Dalam hal ini, perbedaan yang muncul hanyalah  bersifat interpretasi mengenai teks ayat-ayat Alqur’an maupun Hadis. Perbedaan dalam interpretasi, seperti yang dikatakan itu, menimbulkan aliran-aliran yang tidak sama.Di antara para teolog ada yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat untuk memberi interpretasi yang bebas tentang teks Alqur’an dan hadis nabi sehingga dengan demikian timbullah aliran teologi  yang dipandang liberal dalam Islam, yaitu Mu’tazilah. Di pihak lain, terdapat pula sekelompok teolog yang melihat bahwa akal tidak mampu untuk memberikan interpretasi terhadap teks Alqur’an,  seandainyapun dianggap mampu resiko kesalahannya lebih besar daripada kebenaran yang akan didapatkan. Kendatipun justru fakta ini yang didapatkan, namun semua sepakat bahwa sumber kebenaran itu hanyalah wahyu Tuhan itu.

Ada berbagai masalah yang sering ditemukan dalam model pemikiran tersebut, yaitu bahwa dalam pemikiran kalam, teks  yang dibaca itu sering terlepas dari tradisi, konteks atau sejarah yang melingkupi turunnya ayat yang dibacakan itu. Padahal tradisi jauh lebih kompleks dibanding  penuturan sebuah teks. Sebuah contoh yang disampaikan oleh Komarudin Hidayat, ibarat gambar sebuah gunung dalam sebuah peta, dalam kenyataannya yang ditemukan dalam teritori yang namanya gunung keadaannya jauh lebih kompleks ketimbang apa yang tergambar di dalam peta itu.[1] Dalam perspektif di atas, teks memainkan peran yang sangat besar bagi terjalinnya komunikasi antara Tuhan dan manusia dan antarmanusia sendiri, antara zat (Tuhan) yang metafisik dengan manusia yang  konkret. Masalah yang jarang kita temukan dalam pemikiran kalam adalah bahwa teks (Alqur’an)  yang diyakini sebagai firman Tuhan Yang Maha Gaib dalam kenyataan telah memasuki wilayah historis. Oleh karena itulah dalam memahami teks (Alquran), justru yang banyak ditemukan adalah analogi konseptual antara the world of human being dan the world of God dan tidak menggunakan analogi historis-kontekstual, misalnya antara dunia Muhammad yang Arabic dengan dunia umat Islam lain yang hidup di zaman serta wilayah yang berbeda sama sekali. Meskipun kita yakini bahwa teks Alqur’an  se akan-akan sebagai “penjelmaan”  dan “kehadiran” Tuhan, namun bagaimanapun juga begitu memasuki wilayah sejarah, firman tadi terkena batasan-batasan kultural yang berlaku pada dunia manusia.[2]  Paling tidak, ada tiga faktor yang menyebakan bahwa kitab suci ini mempunyai eksistensi yang tetap dan  diyakini secara penuh, yakni: pertama, ia dipelihara melalui tradisi lisan secara turun temurun. Kedua, terdokumentasikan dalam bentuk tulisan yang terjaga rapi sehingga terhindar dari manipulasi historis. Ketiga, diperkuat lagi oleh tradisi  dan ritual keagamaan yang selalu memasukkan ayat-ayat Alqur’an sebagai bacaan dan do’a-do’a.[3] Bila dihubungkan dengan aliran-aliran yang ada  dalam ilmu kalam, baik tradisional maupun liberal, kedua model atau cara berfikir kelompok tersebut tetap terkait dengan teks tadi. Teologi liberal menghasilkan paham dan pandangan liberal tentang ajaran-ajaran Islam. Penganut teologi ini hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas lagi tegas  disebut dalam ayat-ayat Alqur’an maupun hadis, yaitu teks ayat Alqur’an dan hadis yang tidak bisa diinterpretasi lagi mempunyai arti selain arti harfiyah. Sebaliknya penganut teologi tradisional kurang mempunyai ruang gerak  karena mereka terikat tidak hanya pada dogma-dogma tetapi juga pada ayat-ayat yang mengandung arti zanni, yaitu ayat-ayat yang  bisa mengandung arti lain dari arti letterlek yang terkandung di dalamnya, dan ayat-ayat ini mereka artikan secara harfiyah.[4]

C.      Metode.

Bahasa  merupakan aspek yang mendominasi tradisi pemikiran kalam, terutama bila mereka (mutakallimin) yang ahli di bidang  ini ingin mengeluarkan sebuah produk hukum atau  ajarannya. Dominasi kajian bahasa dalam ilmu kalam di antaranya memang  disebabkan oleh faktor historis, artinya kehadiran para teolog pada awalnya adalah sebagai propogandis suatu aliran tertentu. Berkaitan dengan belum tersedianya perangkat keras yang  memadai sa’at itu, maka praktis retorika adalah pilihan yang tepat. Di sisi lain para mutakallimin ini adalah para konseptor dalam merumuskan konsep-konsep iman dan sekaligus menjadi  pembelanya.[5] Salah satu bentuk konkret keterlibatan mereka dengan aturan penafsiran teks adalah munculnya masalah takwil dan i’jaz Alqur’an. Persoalan lafadz dan makna di kalangan mutakallimin juga cukup mencolok dalam diskursus mereka mengenai Alqur’an  sebagai makhluk atau kalam Allah. Karena itulah di  sini muncul persoalan apakah kalam itu sendiri  terdiri dari lafadz (huruf) dan ma’na atau kalam nafsi yang tidak terdiri dari lafadz dan ma’na. Dalam hal takwil misalnya, intensitas kajian lafadz dan ma’na menjadi begitu tinggi karena takwil dalam pemikiran Arab Islam hanya berlaku untuk wacana Alquran saja dan tidak lepas dari aturan-aturan bahasa yang ketat. Karena bahasa yang ketat dalam pemaknaan inilah menjadikan takwil mereka tetap berada dalam dataran dialektis belaka (bayani).[6] Apa yang terjadi pada pemikiran kalam tidak jauh berbeda dengan pemikiran  yang ditemukan dalam hukum, yaitu adanya logika bahasa dan problematika makna (meaning). Dari awal, paling tidak yang menjadi bahan bakunya  adalah problematika lafadz dan makna. Persoalan cara mengidentifikasi hubungan antara keduanya inilah yang menggelitik ahli bahasa dan gramatika arab untuk terlibat dalam diskursus ini. Kecenderungan umum daripada eksponen studi ini adalah bahwa mereka lebih melihat lafaz dan makna sebagai dua fenomena yang terpisah atau minimal menjadikan keduanya sebagai dua kutub yang masing-masing berdiri sendiri  dan bebas antarsatu dengan lainnya.[7] Kecenderungan seperti ini akan kita temukan lagi  di kalangan ahli bahasa, karena itulah hubungan antara keduanya nanti terlihat memiliki kecenderungan yang penuh variasi dan tunduk pada identifikasi yang berbeda pula. Atas dasar ini, secara global, dapat dikatakan bahwa berbagai perdebatan yang terjadi, isu sentralnya  adalah   hubungan antara lafaz  (teks) dan makna (meaning) tadi. Isu itulah yang menjadi pangkal tolak  para kolektor bahasa, yakni pemikiran tentang “makna” dan “yang dinamai” di satu sisi, serta “lafadz” dan “nama” di sisi lain.Persolan mendasar lain dalam hal takwil, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, adalah hubungan antara nama (isim, lafadz) dengan yang diberi nama (makna). Nama (isim) menurut para mutakallimin terdiri dari dua jenis, yakni nama substansi (isim zat) dan nama kualitas (isim sifat). Jika nama substansi tidak bermakna  selain isyarat terhadap sebuah subsatnsi, maka nama kualitas memiliki makna yakni menunjuk pada kualitas atau species sehingga merupakan makna intelektual. Karena kaum dialektis ini memisahkan antara lafadz dan makna, maka mereka memprioritaskan makna dalam hal nama kualitas. Menurut mereka ada makna yang tanpa nama (lafadz). Artinya, makna itu sudah ada dalam akal terlebih dahulu sebelum diekspresikan dengan lafadz (nama). Jadi, sebelum lafadz itu diucapkan harus diketahui dahulu makna dan dimana konteksnya.Maksud pembicaraan dan konteks inilah yang menjadi pilar utama pijakan takwil. Konteks adalah semacam kesepakatan antara pembicara dengan pendengar atau pembaca. Sedangkan maksud sipembicara ini diperoleh melalui analogi, yakni analogi yang abstrak kepada yang konkret. Dalam proses analogi ini harus ada yang  disebut dalil atau qarinah sehingga antara yang abstark dan yang konkret bisa dianalogikan. Inilah takwil yang dimaksudkan oleh mutakallimin seperti Mu’tazilah, sehingga syarat takwil menurut mereka ada tiga, yaitu: konteks, maksud pembicaraan dan dalil.

Jadi dengan demikian takwil dalam pandangan ahli kalam (Mu’tazilah misalnya) tidak lebih dari merujukkan ayat yang mutasyabih kepada yang muhkam. Sesuai dengan dua kategori ayat ini, lalu mereka membagi teks syar’i menjadi  dua kelompok, yakni: kelompok yang disebut  manzum al-khitab dan kelompok ma’qul al-khitab, dan ini sudah barang tentu menyangkut masalah lafadz dan makna. Mengenai hubungan antar keduanya  dapat disimpulkan bahwa: pertama, lafadz bisa dengan sendirinya menunjuk pada arti dalam kapasitasnya sebagai dalil dan argumentasi tidak perlu bantuan, ke dua, lafadz bisa menunjuk pada makna tapi makna yang dimaksud  adalah makna yang  lain, ke tiga, lafadz hanya sekedar mengingatkan pada makna yang sudah diperoleh akal. Pada kondisi pertama, peran akal hanya sebagai alat memahami dan menghimpun makna, pada kondisi kedua peran akal sebagai alat penjelas dan penggali makna, dan pada kondisi ketiga, akal adalah alat takwil dan deduksi, tapi yang jelas,dari keseluruhan hubungan lafadz dan makna di atas peran akal tidak pernah mandiri tanpa dibayang-bayangi oleh teks syar’i. Jika memang demikian pola kerjanya maka dari sudut kajian  lingguistik kontemporer,  dapat dijelaskan  bahwa pemikiran kalam  dan pola pikir ‘aqidah  lebih menganut aliran monistik,[8] dan bukannya menganut aliran dualistik maupun pluralistik.

D.      Validitas atau Keabsahan Kebenaran Dalam Ilmu Kalam.

Berdasarkan objek pembahasan ilmu kalam, yakni eksistensi Tuhan dan sifat-sifat Nya dalam hubungannya dengan alam semesta serta manusia,  metode yang digunakan adalah deduktif dengan menjadikan eksistensi Tuhan sebagai suatu hal yang diyakini kebenarannya.. Penalaran metode deduktif mensyaratkan penggunaan teori koherensi sebagai ukuran kebenaran dalam proses pengambilan suatu pengetahuan. Menurut teori koherensi ini kebenaran satu proposisi hanya dapat diterima jika sesuai dengan proposisi sebelumnya yang sudah diterima kebenarannya.[9] Berangkat dari pernyataan dan pengakuan yang sudah mutlak benar itu  kemudian diikuti  dengan prinsip-prinsip yang membuktikannya.  Para ahli kalam berbeda dalam perspektif ini karena adanya perbedaan dalam menampilkan konsep Tuhan yang dijadikan premis utama.Ketika kaum Mu’tazilah tertarik pada masalah kebebasan untuk berkehendak dan berbuat, maka titik pangkal pemikiran mereaka bukan pada masalah itu sendiri tetapi mereka mengkaji masalah tersebut selama ada kaitannya dengan eksistensi Tuhan, yaitu apakah kebebasan berkehendak dan berbuat sesuai atau tidak dengan konsep mengenai Tuhan Yang Maha Adil. Bagi kaum Mu’tazilah, seperti yang diterangkan oleh ‘Abdul Jabbar, keadilan erat hubunganya dengan hak, dan konsep Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah baik, Tuhan tidak dapat berbuat buruk dan  tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajibanNya terhadap manusia.[10] Berbeda dengan kaum Mu’tazilah yang menjunjung tinggi konsep keadilan Tuhan, kaum As’ariyah justru menjunjung tinggi  konsep kekuasaan mutlak Tuhan. Doktrin kaum Asy’ariyah mengenai hubungan perbuatan manusia    dalam kaitannya dengan kekuasaan mutlak Tuhan digambarkan dengan istilah al-Kasb. Al-Kasb, demikian al-Asy’ari mengatakan, adalah sesuatu yang timbul dari yang berbuat  (al-muktasib) dengan perantaraan daya yang diciptakan.[11] Dengan kata lain, yang mengujudkan al-kasb (perbuatan manusia) sebenarnya adalah Tuhan sendiri, karena bagi al-Asy’ari Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak yang menghendaki segala apa yang mungkin dikehendaki. Jika Tuhan menghendaki sesuatu, ia pasti ada dan jika Tuhan tidak menghendakinya niscaya ia tiada.[12] Hal ini didasarkan firman Tuhan, “Kamu tidak menghendaki kecuali Tuhan menghendaki” (QS. 76: 30). Ayat ini di artikan oleh al-Asy’ar bahwa manusia tidak bisa menghendaki sesuatu itu. Jadi dari konsep kekuasaan mutlak Tuhanlah al Asy’ari sampai kepada kesimpulan bahwa perbuatan-perbuatan manusia adalah diciptakan Tuhan.[13] Berdasarkan analisa terhadap doktrin yang  dikemukakan oleh kedua aliran  teologi di atas nampaklah bahwa adanya penggunaan metode deduktif dalam kajian kalam, yaitu penurunan doktrin dari yang bersifat umum ke doktrin yang bersifat khusus  dengan konsekwensi bahwa teori koherensi  sebagai kriteria dalam mencapa kebenaran. Penggunaan teori koherensi sebagai kriterium kebenaran sudah barang tentu menjadikan pemikiran kalam klasik bercorak metafisik-spekulatif dan kurang mampu berdialog dengan  realitas empiris kehidupan masyarakat yang terus berubah. Corak bangunan epistemologi ilmu kalam yang demikian, yakni kriteria kebenaran didasarkan kepada kesesuaian logik antara doktrin-doktrin  yang dibangun memerlukan adanya  kritik historis. Produk pemikiran kalam klasik sebagai respon terhadap fenomena masyarakat  yang muncul pada penggalan  sejarah  tertentu barangkali memang relevan  dengan persoalan-persoalan pada  masanya, tapi akan menjadi mandul dan kehilangan makna ketika dihadapkan pada fenomena empirik kontemporer. Pada sisi inilah barangkali diperlukan adanya pembaharuan epistemologi ilmu kalam klasik yang demikian.Pola logika pemikiran Kalam yang bersifat deductive adalah mirip-mirip dengan pola berpikir Plato. Plato pernah berpendapat bahwa segala sesuatu  yang dapat diketahui oleh manusia adalah berasal dari idea, yaitu ide-ide yang telah tertanam dan melekat pada diri manusia  secara kodrati sejak awal mulanya. Ide kebajikan dan keadilan misalnya, menurut Plato, tidaklah diketahui lewat pengalaman historis-empiris-induvtive tapi diperoleh dari ide bawaan yang dibawa oleh manusia sejak sebelum lahir. Manusia tinggal mengingat kembali tentang ide-ide bawaan yang telah melekat begitu rupa dalam keberadaannya.  Seperti yang ditulis Amin Abdullah bahwa Plato tidak pernah menyetujui pendapat bahwa ilmu pengetahuan dapat diperoleh manusia  lewat pengetahuan dan pemeriksaan  secara cermat dan seksama terhadap realitas alam dan realitas sosial sekitar lewt pengamatan  dan engalaman indrawi. Pemikiran Islam pada umumnya  dan pemikiran kalam pada khususnya  juga bersifat deductive seperti itu. Hanya saa fungsi ide-ide bawaan dalam pola pikir Plato terebut diganti untuk tidak mengatakan  diislamkan oleh ayat-ayat Alquran  dan teks-teks hadis. Bahkan sering kali melebar  sampai keijma’ dan qiyas. Perjhatian kepada perlunya dalil dan istidlal   sebagai landasan pola pikir dan pola bertindak dalam kehidupan keseharian umat Islam. Pola pikir ini dengan mudah menggiring seseorang dan kelomok ke arah model berfikir yang justifikatif terhadap tek-teks yang sudah tersedia.[14]

E.       Membangun Ilmu Kalam Kontemporer.

Jika teologi betul-betul ingin menjadi ilmu, demikian Nancey Murphy mengutip Wolfhart  Pannenberg, maka ia tidak cukup semata-mata merupakan studi atas kitab suci tapi harus mencari dan menemukan sejumlah masukan berdasarkan data empiris kontemporer.[15]Pendapat senada dikemukakan oleh guru besar Studi  Agama dari University of California, Walter H. Capps, bahwa studi agama masa depan harus meminjam dan mengadaptasi  sejumlah pemahaman dan penemuan dari berbagai disiplin keilmuan yang lain.[16] Di bagian awal tulisan ini disampaikan bahwa pola pikir dan logika yang digunakan dalam ilmu kalam (‘aqidah,  doktrin, dogma) adalah pola pikir deduktive, pola pikir yang sangat tergantung pada sumber utama (teks). Sejauh yang diketahui bahwa pola pikir deductive hanyalah salah satu saja daripola pikir yang ada. Masih ada yang disebut dengan inductive dan abductive. [17] Pola pikir inductive mengatakan bahwa  ilmu pengetahuan bersumber  dari realitas  empiris-historis. Realitas empiris-historis yang berubah-ubah, yang bisa ditangkap oleh indera dan dirasakan oleh pengalaman dan selanjutnya diabstraksikan  menjadi konsep-konsep, rumus-rumus, ide-ide, gagasan-gagasan, dalil-dalil yang disusun sendiri  oleh akal pikiran.[18] Dalam pola pikir inductive tidak ada sesuatu apapun yang disebut ilusif. Semua yang dikenal oleh manusia dalam dunia konkret ini  dapat dijadikan  sebagai bahan dasar ilmu pengetahuan, tidak terkecuali ilmu kalam. Tapi menurut Amin Abdullah, dalam analisis sejarah perkembangan ilmu pengetahuan (history of science) pola pikir deductive dan inductive dianggap sudah tidak memadai lagi untuk dapat menjelaskan secara cermat  tata kerja diperolehnya ilmu pengetahuan yang sesungguhnya. Perkembangan ilmu pengetahuan era abad 20 memunculkan kategori baru dalam pola pikir keilmuan, yaitu pola pikir abductive. Pola pikir ini lebih menekankan the logic of discovery dan bukan the logic of justification. Pengujian secara kritis terhadap apa yang dapat disebut sebagai bangunan keilmuan, termasuk didalamnya rumusan manuasia tentang keilmuan agama atau rumusan-rumusan aqidah dapat dikaji kembali validitas dan kebenarannya melalui pengalaman-pengalaman yang terus-menerus berkembang dalam kehidupan praksis sosial yang aktual.[19] Persoalan-persoalan yang dihadapi pada masa sekarang ini lebih diwarnai oleh isu-isu yang menuntut masalah kemanusiaan secara universal. Isu seperti demokrasi, pluralitas agama dan budaya, hak asasi manusia, lingkungan hidup, kemiskinan struktural menjadi tantangan sekaligus menjadi agenda persoalan yang dihadapi oleh generasi kini. Isu-isu tersebut jelas berbeda dengan isu-isu abad tengah dan zaman klasik yang biasa diangkat dalam kajian kalam dan falsafah Islam klasik.[20] Ketika dihadapkan kepada isu-isu tersebut pengembangan dan pembaharuan pemikiran ilmu kalam memang merupakan keniscayan. Tahapan awal dalam upaya mengembalikan “keseimbangan” antara bobot pemikiran ilmu kalam klasik  yang bermuatan moralitas normatif dan tuntutan perkembangan ilmu pengetahan kontemporer yang bersifat empiris mutlak diperlukan kritik epistemologis yang mendasar.[21] Selanjutnya upaya rekonstruksi harus menuju sebuah format teologi yang bisa berdialog dengan realitas dan perkembangan pemikiran yang  berjalan sa’at ini. Untuk itu objek kajian ilmu kalam klasik yang bersifat transendent-spekulatif, seperti pembahasan tentang sifat-sifat Tuhan, yang relevansinya kurang jelas dengan kehidupan masa kini  harus diganti dengan kajian yang lebih aktual, seperti hubungan Tuhan dengan manusia dan sejarah, korelasi antara keyakinan agama dengan pemeliharaan keadilan dan masih banyak lagi aspek lain. Bahkan Hassan Hanafi, seorang filosuf Muslim kontemporer secara radikal melontarkan tentang perlunya diupayakan pergeseran wilayah pemikiran yang dahulu hanya memusatkan perhatian kepada persoalan-persoalan ketuhanan (teologi) ke arah paradigma pemikiran yang lebih menelaah dan mengkaji secara serius persoalan kemanusiaan (antropologi).[22] Ada delapan langkah yang ditawarkan oleh Hassan Hanafi menuju perubahan ini. 1. from God to Land; 2. from Eternity to Time; 3. from Predistination to Free will 4; from Authoryti to Reason 5; from Theory to Action; 6. from Charisma to Mass-participation; 7.  from Soul to Body; dan 8 from Eschatology to Futurology.[23] Begitu pula sumber kebenaran ilmu kalam kontemporer, tidak hanya terpusat pada wahyu dan dataran konsep yang dipikirkan tapi secara metodologis  harus menerima masukan dari produk barbagai disiplin keilmuan kontemporer.[24] Nancy Murphy, seorang ahli teologi mengatakan bahwa teori koherensi sebagai kriteria kebenaran  dalam kajian teologi (Teologi Islam, pen.)  klasik, pada ilmu kalam kontemporer bukan lagi satu-satunya pilihan epistemologis.[25] Di sini, Murphy pertama melihat apa yang disampaikan oleh Alasdair MacIntyre dan Robert Bellah dan lainnya dimana mereka memperbaharui pandangan betapa pentingnya peran sebuah  komunitas.[26]  Para penganut modernis mengasumsikan bahwa individu merupakan seorang yang cakap sama halnya dengan yang lain untuk  membentuk berbagai kepercayan dan mengucapkan bahasa (pembimbing bagi lainnya). Pengetahuan dan bahasa masyarakat hanyalah semata-mata koleksi dari individu-individu. Akan tetapi dalam priode posmodernism, komunitas memainkan sebuah aturan yang sangat penting. Komunitas ilmuanlah yang memutuskan kapan berbagai fakta dipandang  telah menyimpang secara serius. Komunitas harus menetapkan dalam hal apa perubahan dilaksanakan dan bagaimana ia dilakukan. Aturan-aturan permainan bahasa dimana seorang terlibat  secara pribadi di dalamnya dan menentukan apa yang semestinya dikatakan atau tidak dikatakan adalah sesuatu yang semestinya mendapat perhatian. Pendek kata,  bahasa dan apa yang diketahui merupakan praktek-praktek yang tidak pernah lepas dari tradisi, keduanya adalah prestasi komunitas.

Dalam era posmodernism, holisme sebagai bentuk epistemologi dan teori makna di pihak lain pada dasarnya memiliki hubungan yang tidak bisa ditawar lagi. Oleh karena itu, dalam pandangan Murphy, untuk menetapkan jaringan   kita terhadap kepercayan dalam memandang dunia, seseorang harus terlebih dahulu merubah kepercayaannya yang khusus (internalized) tentang dunia sekaligus dapat menetapkan berbagai macam arti supaya memperoleh hasil yang lebih baik. Keyakinan dan kebermaknaan tak bisa dipisahkan.[27]

Dalam hubungannya dengan postmodern-theology, Murphy berangkat dari teologi post-liberal Lindbeck dengan teori holistiknya mengenai pengetahuan dan pengenalannya terhadap fungsi bahasa yang berbeda-beda.[28] Demikian pula Thienmann yang melihat secara teliti hubungan antarkeduanya dalam kaitannya dengan  usulan sebuah pembenaran (justification) yang tanpa dasar (terlembaga) terhadap doktrin wahyu.[29] Dalam usulannya terhadap teologi, ia menggunakan pendekatan “yang tanpa dasar” terlebih dahulu. Artinya, dengan ungkapan sederhana,  tanpa terikat oleh suatu ajaran yang dilembagakan atau agama yang sudah dilembagakan. Dalam perspektif teologi Islam (ilmu kalam), Islam misalnya bukan lagi Khawarij, bukan al-Asy’ariah, Mu’tazilah dan lain sebagainya. Di sini Thienmann menggunakan model pengetahuan yang bebas dasar teori (terlembagakan) atau starting point atau pembenaran terlebih dahulu dari sebuah keyakinan. Era postmodernism ingin melihat fenomena sosial, fenomena keberagamaan apa adanya tanpa harus terlebih dahulu “terkurung”   oleh  anggapan dasar dan teori baku  apalagi standard yang diciptakan pada masa rentang waktu tertentu (modernism). Demikian keberagamaan dan kepercayaan dilihat dalam perspektif ini. Pandangan terhadap teologi tanpa konsep awal ini, memang pada mulanya merupakan gambaran utama keyakinan orang-orang Kristen  dan praktek-praktek ibadahnya. Hal ini mencoba untuk menunjukkan keyakinan orang-orang Kristen itu dapat dipahami, cocok dan dijamin ketepatannya, memberikan perhatian praktis gambaran yang inheren dalam kepercayan dan praktek ibadah  mereka secara khusus ketimbang hanya merupakan sebuah teori besar saja dari kaum rasionalis. Seperti yang telah diketahui bahwa teori-teori ilmu sosial modern mengandaikan adanya struktur dan rekonstruksi baku yang bisa dibangun secara kokoh dan bisa berlaku secara universal. Apa yang disebut dengan grand theory, begitu hebatnya, sehingga orang percaya berlebihan terhadap keampuhan teori tersebut.  Grand Theory dianggap mampu menjelaskan berbagai gejala sosial dimana saja dan kapan saja. Dominasi teori-teori besar seperti itu, dengan mengikuti apa yang dikatakan Amin Abdullah, menutup kemungkinan munculnya teori-teori  lain yang barangkali jauh lebih dapat membantu memahami realitas dan memecahkan persoalan. Klaim adanya metodologi baku, standard, yang tak bisa diganggu gugat, itulah yang ditentang oleh orang-orang seperti Paul Feyerabend.[30] Bila konsep di atas dihubungkan dengan Islam, ada  berbagai ciri khas teologi  non-foundationalism seperti yang disebutkan itu: pertama, pembenaran kepercayan adalah khusus kepada keimanan seorang Muslim, jama’at dan berbagai tradisinya; kedua, bahasa teologis yang ditawarkan adalah terikat kepada  aspek keimanan dan ketiga, teologi menggunakan pembenaran menyeluruh dan mencari hubungan antara kepercayaan yang diperselisihkan (khilafiyah) dan jaringan keyakinan yang saling berhubungan dimana ia terdapat pada proses sebuah pendekatan rasional.[31] Kendatipun semangat  fundamentalism begitu menyolok dalam fenomena seperti ini tapi yang demikian bukanlah satu-satunya gejala yang ada di dalamnya, bahkan terdapat perkembangan yang sering bertolak belakang. Perubahan yang cenderung anarchis dan kemajemukan wacana mendorong sebagian cendikiawan  untuk memunculkan paradigma pemikiran  yang lebih inklusif, toleran, dan perlunya pengertian terhadap kelompok lain.[32] Oleh karena itu menurut Murphy, seseorang harus memperhatikan pertanyaan Jeffrey Stout “apakah kebenaran berbagai kelompok kepercayaan dan validitas pemahaman mereka semata-mata terserah kepada mereka”. Thienmann, bahkan, mengatakan tidak ada petunjuk sama sekali untuk memilih antara berbagai sistem teologis yang masing-masing berbeda. Menurut Linbeck masalah kebenaran muncul dalam bentuk: pertama,  konsistensi atau pertalian masing-masing bagian dari sebuah sistem, yaitu sistem dalil-dalil yang ditawarkan, pernyataan-pernyataan doktrinal teologis dan praktek-praktek keagamaan  masyarakat; ke dua, Lindbeck sendiri mengajukan pertanyaan tentang :kebenaran agama itu (its self).[33]

Dalam melihat agama sebagai sebuah keyakinan, Lindbeck, secara epistemilogis, membandingkan agama-agama dengan pemahaman teoritis ilmu pengetahuan, khususnya sains. Dalam sebuah teori, seseorang harus mengevaluasi klaim-klaim kebenaran berdasarkan ketetapan di antara berbagai keyakinan beserta pengalaman-pengalaman yang ada. Untuk evaluasi ini seseorang harus menggunakan berbagai kriteria, termasuk kemampuannya untuk memahami data baru dan menyiapkan penafsiran yang mudah dipahami dari berbagai situasi.

F.       Kritik: Teologi sebagai Aktivitas Teoritis.

            Dalam tulisannya, Murphy, dengan mengutip pemikiran Thienmann dari karyanya Revelation and Theology mengkritik pendekatan modern yang melihat bahwa teologi sebagai kajian teoritis semata. Dalam hubungannya dengan teologi Islam (Ilmu Kalam), dengan menggunakan pendekatan ini, ada dua hal penting dalam kajian teologi yaitu: bawa ia harus bebas dari argumen logik kepercayaan dan praktek-praktek lokal keagamaan orang Islam yang berada pada kurun waktu dan ruang tertentu, kemudian di dalamnya terkandung referensi yang memada untuk mengukur pendapat internal tradisi-tradisi Muslim sendiri.

Terhadap masalah ini, Imre Lakatos, seorang yang banyak berpengaruh dalam pemikiran Murphy,  sudah banyak berbicara  tentang bagaimana  teologi ini didekati dengan program riset, memang memiliki  kemiripan dengan  postmodernism yang ingin merubah, memperbaiki, membongkar serta membangun kembali konstruksi pemikiran keagamaan yang dipandangnya kurang peka terhadap tantangan perkembangan dan perubahan sejarah yang sedang berlangsung.

Lewat pendekatan progran riset itu  nampaknya perubahan yang akan dilakukan bukanlah konstruksi bangunan dasar keagamaan secara keseluruhan melainkan wilayah  periperial atau wilayah interpretasi terhadap ajaran. Dalam program riset Imre  Lakatos, terdapat aturan-aturan metodologis yang salah satunya disebut dengan negative heuristic. Tujuan metode ini adalah mempertahankan hard core (inti pokok). Dalam negative heuristic, penelitian tidak boleh diarahkan kepada hard core akan tetapi diarahkan kepada hipotesis  pembantu yang berada di sekeliling hard core yang berfungsi sebagai protective belt (lingkaran pengaman). Hipotesis bantu inilah yang menjadi sasaran penelitian sehingga harus selalu dilakukan penyesuaian atau  menggantinya secara keseluruhan untuk mengamankan hard core.[34] Dengan lain ungkapan, bahwasanya wilayah inti (hard core) daripada wahyu serta dimensi normativitas ajaran agama akan tetap seperti itu apa adanya, dan hanya wilayah interpretasi ajaran agama yang bersifat historis-relativ yang akan masih berkembang sesuai dengan perkembangan akal budi dan perkembangan ilmu pengetahuan manusia, yang akan terkena proses dekonstruksi. Jika memang begitu adanya, maka dengan terjadinya proses dekonstruksi  justru menunjukkan adanya dinamika keberagamaan manusia dalam arti yang sesungguhnya. Berbeda dengan Lakatos, Thienmann menghendaki  sebuah teologi yang terlepas dari kekuatan lembaga-lembaga atau dasar-dasar teori sebelumnya, sehingga seseorang akan dapat berimprovisasi sendiri. Ia mengatakan tidak ada petunjuk untuk memilih salah satu dari berbagai sistem yang ada. Jadi ciri khas dari sebuah teologi postmodernism itu memang anti-foundational yang  menolak segala bentuk konsep yang berfungsi sebagai starting point untuk membangun sebuah kebenaran, dan juga anti-totalizing yang mengkritik teori tentang totalitas dari sebuah realitas.[35] Nancey Murphy sebenarnya berusaha untuk menarik sebuah sintesis dari dua model pemikiran di atas. Disatu pihak ia banyak mengambil pola pikir program riset Imre Lakatos untuk tujuan sebuah teologi rekonsiliasi yang dapat menilai jasa-jasa dari sistem kepercayaan yang berbeda, sedangkan di lain pihak memperhatikan peringatan Thienmann akan kerugian menerapkan dasar-dasar umum rasionalitas yang begitu kurang memperhatikan dan berusaha merubah model-model pembenaran serta evaluasi  yang melekat pada ajaran bahasa pertama keyakinan orang-orang yang sudah menganut sebuah agama tertentu dan praktek-praktek ibadah mereka. Masing-masing program riset yang bersifat teologis dapat menunjukkan logik internnya sendiri berdasarkan atas keyakinan dan pembenaran yang ditawarkan oleh komunitas yang relevan. Apa yang ingin disampaikan disini  adalah bahwa kebenaran agama itu biarlah berjalan apa adanya, substansi kebenaran agama berlangsung apa adanya dan tak perlu diragukan apalagi ditolak. Hanya saja yang utama dari semua itu adalah perlunya pembenahan ulang terhadap berbagai konsep dan teori dimana dan dalam kondisi apa  ilmu kalam itu dibangun. 

G.      Penutup.          

Dalam tulisan ini,  sudah barang tentu tidak ada maksud menghapus jasa besar dari format ilmu kalam klasik yang sudah banyak memberikan muatan spritualitas  keagamaan umat Islam, tapi kritik epistemologi mau tidak mau harus dilakukan jika umat Islam ingin mengetahui berbagai penyimpangan yang terjadi dalam realitas  kehidupan Muslim dan  menjadikan agama sebagai salah satu alat memecahkan problem sosial yang sedang dihadapi. Perlunya pembenahan itu antara lain pada struktur epistemologi yang terkandung di dalamnya, sumber, metodologi dan keabsahan kebenaran yang telah didapatkan darinya. Untuk itu diperlukan pendekatan berbagai disiplin  ilmu-ilmu yang  lain, bahkan sikap dan pengalaman agama lain  untuk melihat lebih dekat agama kita sendiri.    

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. 1995. “Aspek Epistemologi Filsafat Islam” dalam Irma Fatimah (ed). Filsafat Islam, Yogyakarta: LSFI,

 ——————-Falsafah Kalam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

——————- 2000. “Kajian Ilmu Kalam di IAIN menyongsong Perguliran Paradigma Keilmuan Keislaman Pada Era Milenium Ketiga” dalam al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 65/VI. Yogyakarta: IAIN Suka.

Asy’ary al Abu Hasan. 1965.  Kitab al-Luma’ fi al-Rad ‘ala Zaig wa al-Bida’, Kairo: tp.

Asy’ary al Abu Hasan. 1977. al-Ibanah ‘an Ushul al-Diniyyah. Mesir: tp.

Azra, Azyumardi. 1999 Konteks Berteologi Di Indonesia, Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina.

Blackburn, Simon. 1994. The Oxford Dictionary of Philosophy, New York: Oxford University Press.

Brummer, Vincent. 1981. Theology and Philosophical Inquiry: An Introduction, London: The MacMillan Press Ltd.

Bucher, Justus. 1980. Cherles Peirce’s Empirisme, New York: Octagon Books.

Capps. H. Walter. 1995. Religious Study: The Making of a Discipline, Minneapolis: Augsburg Portres.

Degobar D. Runes. 1976. Dictionary of Philosophy, New Jarse:Littlefield, Adams co.

Hanafi, Hassan, t.t. Dirasat Islamiyyah. Kairo: Maktabah al-Anjilo al-Misriyyah.

Hasset D. 1868. Epistemology for All, Cork: The Marcier Press.

Hidayat, Komarudin. 1996.  Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina.

Jabbar, al-Ahmad. 1965. Syarh al-Ushul al-Khamsah, Kairo: Maktabah Wahbah.

Jabiry, al. 1990. Bunyah al-‘Aql al-‘Araby, Beirut: Markas Dirasah al-Waddah al-‘Arabiyyah.

Lakatos, Imre. 1970. “Falsification and the Metodology of Scientifc Research Programmes” dalam Criticism and Growth of Knowledge Imre Lakatos dan Alan Musgrave. London: Cambridge University Press.

Linbeck. 1984. The Nature of Doctrine. Philadelphia: Westminster Press.

Murphy, Nancey. 1990. Theology i the Age of Scientific Reasoning, Ithaca and London: Cornell University.

Nasution, Harun. 1972.  Teologi Islam , Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press.V

ia JR Dan O. dalam AKM Adam. 1995. What is Postmodernism Biblical Criticism, Minniapolis:Fortress Press.

[1] Komaruddin Hidayat. Memahami Bahasa Agama , Sebuah Kajian Hermeneutik  (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 23

[2] Ibid, hal. 9

[3] Ibid, hal. 241

[4] Harun Nasution. Teologi Islam, Sejarah  Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1972), hal. 151.

[5] Abid al-Jabiry. Bunyah al-‘Aql al-‘Araby (Beirut: Markas Dirasah al-Waddah al-‘Arabiyah, 1990), hal. 15.

[6] Dalam logika klasik, dialektika berarti suatu metode diskusi tertentu dan cara tertentu dalam berdebat yang didalamnya ide-ide kontradiktif dan pandangan yang saling bertentangan dilontarkan. Masing-masing pandangan itu berupaya menunjukkan titik-titik kelemahan dan kesalahan lawannya berdasarkan pengetahuan dan preposisi-preposisi yang sudah diakui. Perbedaan dan pertentangan di kalangan mutakallimin ini (Mu’tazilah dan Asy’ariyah) pada dasarnya lebih disebabkan faktor ideologis mazhabi ketimbang pengetahuan epistemologi yang berbeda.

[7] Ibid., hal. 70

[8] Ada 3 (tiga) tiga yang berkaitan dengan hubungan antara  lafadz dan makna, yaitu: pertama, monisme yang berpendapat bahwa makna dengan lafadz atau bentuk teks merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, Dengan kata lain tidak ada kemungkinan perbedaan pendapat dalam memahamai teks karena antara teks dan maknanya adalah sesuatu yang manunggal datu kesatuan.  Kedua, aliran dualisme yang mengatakan  bahwa antara lafadz dan makna dapat dipisahkan. Dengan kata lain bahwa masing-masing mempunyai eksistensi tersendiri, meskipun ada hubungan tetapi hubungan tersebut tidaklah begitu kompleks. Ketiga:  aliran pluralisme yang mengatakan bahwa hubungan antara lafadz dan makna sangat kompleks. sebuah teks menurut aliran ini merupakan konstruk meta-fungsional yang terdiri dari makna ideasional, interpersonal dan tekstual yang kmpleks. Dengan kata lain, bukan hanya masing-masing makna dan bentuk mempunyai eksistensi tersendiri, tapi hubungan antara keduanya bersifat amat kompleks. (lihat Amin Abdullah. “Kajian Kalam……….”dalam al-Jami’ah, no. 65/vi/2000, hal. 87).

[9] Vincent Brummer. Theology and Philosophical Inquiry: An Introduction (London: The MacMillan Press Ltd., 1981), hal. 172.

[10] Abd al-Jabbar Ahmad. Syarh al-Ushul al-Khamsah, Abd. al-Karim ‘Usman (ed), (Kairo: Maktabah Wahbah, 1965), hal. 132-3

[11] Abu Hasan al-Asy’ari. Kitab al-Luma’ fi al-Rad ‘ala Zaig wa al-Bida’ (Kairo: tp., 1965), hal. 76.

[12] Al-Asy’ari. al-Ibanah ‘an Ushul al-Diniyah, Fauqiyah Husein Mahmud (editor), (Mesiar: tp., 1977), hal. 51.

[13] al-Asy’ary. Luma’., hal. 57 dan 70

[14] HM. Amin Abdullah” Kajian Ilmu Kalam di IAIN” hal. 85

[15] Nancey Murphy. Theology in The Age of Scientific Reasoning (Ithaca and London: Cornell University Press, 1990), hal. 87.

[16] Walter H. Capps. Religious Study: The Making of a Discipline (Minneapolis: Augsburg Portress, 1995), hal. 331.

[17] Lihat Justus Bucher. Charles  Peirce’s Empiricism (New York: Octagon Books, 1980), hal. 38-40

[18] M. Amin Abdullah: “Kajian Ilmu Kalam Di IAIN Menyongsong Perguliran Paradigma Keilmuan Keislaman Pada Era Milenium Ketiga” dalam  Al-Jami’ah, Journal of Islamis Studies, No 65, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2000), hal. 84-85.

[19]M. Amin Abdullah, Al-Jami’ah, Op. Cit. hal. 86

[20] Amin Abdullah. Falsafah Kalam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal. 89

[21] Ibid, hal. 29

[22] Hassan Hanafi. Dirasat Islamiyyah (Kairo: Maktabah al-Anjilo al-Misriyyah, tt.), hal. 205.

[23] Hassan Hanafi: “From Dogma o Revolution”, yang isinya merupakan resume karyanya, Minal ‘aqidah ila al-Tsauroh, Muhawalah li I’adat Bina i al-‘Ilm Ushul al-Diin, 5 Jilid.

[24] Walterr H. Capps. Op. Cit., hal. 331

[25] Nancey Murphy. Op. Cit. hal. 201

[26] Ibid., hal. 202

[27] Nancey Murphy. Op. cit. hal. 202

[28] Linbeck. The nature of Doctrine (Philadelphia: Westminster Press, 1984), hal. 34

[29] Dalam pandangan Murphy, karya-karya George Lindbeck dan Ronal Thienmann dikategorikan posmodern

[30] Amin Abdullah. Falsafah Kalam. hal. 99.

[31] Konsep ini pada awalnya merupakan penjelasan Nancy Murphy terhadap keyakinan Kristen. lihat Nancey Murphy Theology…… hal. 203

[32] Azyumardi Azra. Kontek Berteologi di Indonesia, Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 16.

[33] Lindbeck. Op. cit. hal. 64-66

[34] Imre Lakatos “Falsification and the Methodology of Scientific Research Programmes” dalam Criticism and Growth of Knowledge, Imre Lakatos dan Alan Musgrave (ed) (London: Cambridge University Press, 1970), hal. 132.

[35] Dan O. Via JR. (ed) dalam AKM Adam, What is Postmodern Biblical Criticism (Minniapolis: Fortress Press, 1995) hal. vii

1 komentar:

CARI

 

Random Post


web counter

Test Footer

About