Pages

Minggu, 28 April 2013

KALAM MODERN: KRITIK TERHADAP KALAM TRADISONAL



Oleh: Syafieh, M. Fil. I

A.      Pendahuluan

Pembahasan Kalam yang selama ini di bicarakan oleh Mutakallimin bukan berarti tidak mempunyai kelemahan. Kalau diperhatikan dengan cermat paling tidak ada tiga hal yang membutuhkan kritikan. Diantaranya adalah dari aspek epistemologi, aspek ontologi, dan Aspek aksiologi.

Kritik epistemologi dalam ilmu kalam terdapat pada cara yang digunakan oleh para pemuka aliran kalam menyelesaikan persoalan kalam, terutama ketika mereka menafsirkan Al Qur’an. Bahkan demi membela sudut pandang tertentu, penafsiran-penafsiran teologis umumnya telah mendekati Al Qur’an secara atomistik dan parsial serta  terlepas dari konteks kesejarahan dan kesusastraannya.

Aspek Ontologi ilmu kalam hanya berkisar pada persoalan-persoalan ketuhanan dan yang berkaitan dengannya yang berkesan  “mengawang-awang” dan jauh dari persoalan kehidupan manusia. Kalaupun tetap dpertahankan bahwa diskursus aliran kalam juga menyentuh persoalan kehidupan manusia, persoalan itu adalah sesuatu yang terjadi pada masa lampau.

Sedangkan kritik aspek Askiologi  menyangkut pada kegunaan ilmu itu sendiri dalam menyingkap hakikat kebenaran. Muhammad Abduh mempunyai kesan yang hamper sam dengan pendahulunya. Dengan  menyitir sebuah hadis, “tafakkaru fi khalqillahi…….”,ia beranggapan bahwa objek penelaahan dan penelitian akal pikiran manusia, pada dasarnya adalah sifat-sifat dasar dari segala fenomena yang ditemui dalam kehidupannya. Dari penelitian sifat dasar tersebut, akan ditemukan hukum-hukum sebab akibat yang melatarbelakanginya. Di luar wilayah itu, akal pikiran tidak dapat menembusnya.

Dibawah ini akan di paparkan tentang analisa kritik terhadap ilmu kalam, agar kita dapat memperbaiki kalam yang berwawasan mooden.

B.       Sumber Kebenaran.

Semua aliran dalam pemikiran kalam berpegang  kepada wahyu sebagai sumber pokok. Dalam hal ini, perbedaan yang muncul hanyalah  bersifat interpretasi mengenai teks ayat-ayat Alqur’an maupun Hadis. Perbedaan dalam interpretasi, seperti yang dikatakan itu, menimbulkan aliran-aliran yang tidak sama.Di antara para teolog ada yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat untuk memberi interpretasi yang bebas tentang teks Alqur’an dan hadis nabi sehingga dengan demikian timbullah aliran teologi  yang dipandang liberal dalam Islam, yaitu Mu’tazilah. Di pihak lain, terdapat pula sekelompok teolog yang melihat bahwa akal tidak mampu untuk memberikan interpretasi terhadap teks Alqur’an,  seandainyapun dianggap mampu resiko kesalahannya lebih besar daripada kebenaran yang akan didapatkan. Kendatipun justru fakta ini yang didapatkan, namun semua sepakat bahwa sumber kebenaran itu hanyalah wahyu Tuhan itu.

Ada berbagai masalah yang sering ditemukan dalam model pemikiran tersebut, yaitu bahwa dalam pemikiran kalam, teks  yang dibaca itu sering terlepas dari tradisi, konteks atau sejarah yang melingkupi turunnya ayat yang dibacakan itu. Padahal tradisi jauh lebih kompleks dibanding  penuturan sebuah teks. Sebuah contoh yang disampaikan oleh Komarudin Hidayat, ibarat gambar sebuah gunung dalam sebuah peta, dalam kenyataannya yang ditemukan dalam teritori yang namanya gunung keadaannya jauh lebih kompleks ketimbang apa yang tergambar di dalam peta itu.[1] Dalam perspektif di atas, teks memainkan peran yang sangat besar bagi terjalinnya komunikasi antara Tuhan dan manusia dan antarmanusia sendiri, antara zat (Tuhan) yang metafisik dengan manusia yang  konkret. Masalah yang jarang kita temukan dalam pemikiran kalam adalah bahwa teks (Alqur’an)  yang diyakini sebagai firman Tuhan Yang Maha Gaib dalam kenyataan telah memasuki wilayah historis. Oleh karena itulah dalam memahami teks (Alquran), justru yang banyak ditemukan adalah analogi konseptual antara the world of human being dan the world of God dan tidak menggunakan analogi historis-kontekstual, misalnya antara dunia Muhammad yang Arabic dengan dunia umat Islam lain yang hidup di zaman serta wilayah yang berbeda sama sekali. Meskipun kita yakini bahwa teks Alqur’an  se akan-akan sebagai “penjelmaan”  dan “kehadiran” Tuhan, namun bagaimanapun juga begitu memasuki wilayah sejarah, firman tadi terkena batasan-batasan kultural yang berlaku pada dunia manusia.[2]  Paling tidak, ada tiga faktor yang menyebakan bahwa kitab suci ini mempunyai eksistensi yang tetap dan  diyakini secara penuh, yakni: pertama, ia dipelihara melalui tradisi lisan secara turun temurun. Kedua, terdokumentasikan dalam bentuk tulisan yang terjaga rapi sehingga terhindar dari manipulasi historis. Ketiga, diperkuat lagi oleh tradisi  dan ritual keagamaan yang selalu memasukkan ayat-ayat Alqur’an sebagai bacaan dan do’a-do’a.[3] Bila dihubungkan dengan aliran-aliran yang ada  dalam ilmu kalam, baik tradisional maupun liberal, kedua model atau cara berfikir kelompok tersebut tetap terkait dengan teks tadi. Teologi liberal menghasilkan paham dan pandangan liberal tentang ajaran-ajaran Islam. Penganut teologi ini hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas lagi tegas  disebut dalam ayat-ayat Alqur’an maupun hadis, yaitu teks ayat Alqur’an dan hadis yang tidak bisa diinterpretasi lagi mempunyai arti selain arti harfiyah. Sebaliknya penganut teologi tradisional kurang mempunyai ruang gerak  karena mereka terikat tidak hanya pada dogma-dogma tetapi juga pada ayat-ayat yang mengandung arti zanni, yaitu ayat-ayat yang  bisa mengandung arti lain dari arti letterlek yang terkandung di dalamnya, dan ayat-ayat ini mereka artikan secara harfiyah.[4]

C.      Metode.

Bahasa  merupakan aspek yang mendominasi tradisi pemikiran kalam, terutama bila mereka (mutakallimin) yang ahli di bidang  ini ingin mengeluarkan sebuah produk hukum atau  ajarannya. Dominasi kajian bahasa dalam ilmu kalam di antaranya memang  disebabkan oleh faktor historis, artinya kehadiran para teolog pada awalnya adalah sebagai propogandis suatu aliran tertentu. Berkaitan dengan belum tersedianya perangkat keras yang  memadai sa’at itu, maka praktis retorika adalah pilihan yang tepat. Di sisi lain para mutakallimin ini adalah para konseptor dalam merumuskan konsep-konsep iman dan sekaligus menjadi  pembelanya.[5] Salah satu bentuk konkret keterlibatan mereka dengan aturan penafsiran teks adalah munculnya masalah takwil dan i’jaz Alqur’an. Persoalan lafadz dan makna di kalangan mutakallimin juga cukup mencolok dalam diskursus mereka mengenai Alqur’an  sebagai makhluk atau kalam Allah. Karena itulah di  sini muncul persoalan apakah kalam itu sendiri  terdiri dari lafadz (huruf) dan ma’na atau kalam nafsi yang tidak terdiri dari lafadz dan ma’na. Dalam hal takwil misalnya, intensitas kajian lafadz dan ma’na menjadi begitu tinggi karena takwil dalam pemikiran Arab Islam hanya berlaku untuk wacana Alquran saja dan tidak lepas dari aturan-aturan bahasa yang ketat. Karena bahasa yang ketat dalam pemaknaan inilah menjadikan takwil mereka tetap berada dalam dataran dialektis belaka (bayani).[6] Apa yang terjadi pada pemikiran kalam tidak jauh berbeda dengan pemikiran  yang ditemukan dalam hukum, yaitu adanya logika bahasa dan problematika makna (meaning). Dari awal, paling tidak yang menjadi bahan bakunya  adalah problematika lafadz dan makna. Persoalan cara mengidentifikasi hubungan antara keduanya inilah yang menggelitik ahli bahasa dan gramatika arab untuk terlibat dalam diskursus ini. Kecenderungan umum daripada eksponen studi ini adalah bahwa mereka lebih melihat lafaz dan makna sebagai dua fenomena yang terpisah atau minimal menjadikan keduanya sebagai dua kutub yang masing-masing berdiri sendiri  dan bebas antarsatu dengan lainnya.[7] Kecenderungan seperti ini akan kita temukan lagi  di kalangan ahli bahasa, karena itulah hubungan antara keduanya nanti terlihat memiliki kecenderungan yang penuh variasi dan tunduk pada identifikasi yang berbeda pula. Atas dasar ini, secara global, dapat dikatakan bahwa berbagai perdebatan yang terjadi, isu sentralnya  adalah   hubungan antara lafaz  (teks) dan makna (meaning) tadi. Isu itulah yang menjadi pangkal tolak  para kolektor bahasa, yakni pemikiran tentang “makna” dan “yang dinamai” di satu sisi, serta “lafadz” dan “nama” di sisi lain.Persolan mendasar lain dalam hal takwil, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, adalah hubungan antara nama (isim, lafadz) dengan yang diberi nama (makna). Nama (isim) menurut para mutakallimin terdiri dari dua jenis, yakni nama substansi (isim zat) dan nama kualitas (isim sifat). Jika nama substansi tidak bermakna  selain isyarat terhadap sebuah subsatnsi, maka nama kualitas memiliki makna yakni menunjuk pada kualitas atau species sehingga merupakan makna intelektual. Karena kaum dialektis ini memisahkan antara lafadz dan makna, maka mereka memprioritaskan makna dalam hal nama kualitas. Menurut mereka ada makna yang tanpa nama (lafadz). Artinya, makna itu sudah ada dalam akal terlebih dahulu sebelum diekspresikan dengan lafadz (nama). Jadi, sebelum lafadz itu diucapkan harus diketahui dahulu makna dan dimana konteksnya.Maksud pembicaraan dan konteks inilah yang menjadi pilar utama pijakan takwil. Konteks adalah semacam kesepakatan antara pembicara dengan pendengar atau pembaca. Sedangkan maksud sipembicara ini diperoleh melalui analogi, yakni analogi yang abstrak kepada yang konkret. Dalam proses analogi ini harus ada yang  disebut dalil atau qarinah sehingga antara yang abstark dan yang konkret bisa dianalogikan. Inilah takwil yang dimaksudkan oleh mutakallimin seperti Mu’tazilah, sehingga syarat takwil menurut mereka ada tiga, yaitu: konteks, maksud pembicaraan dan dalil.

Jadi dengan demikian takwil dalam pandangan ahli kalam (Mu’tazilah misalnya) tidak lebih dari merujukkan ayat yang mutasyabih kepada yang muhkam. Sesuai dengan dua kategori ayat ini, lalu mereka membagi teks syar’i menjadi  dua kelompok, yakni: kelompok yang disebut  manzum al-khitab dan kelompok ma’qul al-khitab, dan ini sudah barang tentu menyangkut masalah lafadz dan makna. Mengenai hubungan antar keduanya  dapat disimpulkan bahwa: pertama, lafadz bisa dengan sendirinya menunjuk pada arti dalam kapasitasnya sebagai dalil dan argumentasi tidak perlu bantuan, ke dua, lafadz bisa menunjuk pada makna tapi makna yang dimaksud  adalah makna yang  lain, ke tiga, lafadz hanya sekedar mengingatkan pada makna yang sudah diperoleh akal. Pada kondisi pertama, peran akal hanya sebagai alat memahami dan menghimpun makna, pada kondisi kedua peran akal sebagai alat penjelas dan penggali makna, dan pada kondisi ketiga, akal adalah alat takwil dan deduksi, tapi yang jelas,dari keseluruhan hubungan lafadz dan makna di atas peran akal tidak pernah mandiri tanpa dibayang-bayangi oleh teks syar’i. Jika memang demikian pola kerjanya maka dari sudut kajian  lingguistik kontemporer,  dapat dijelaskan  bahwa pemikiran kalam  dan pola pikir ‘aqidah  lebih menganut aliran monistik,[8] dan bukannya menganut aliran dualistik maupun pluralistik.

D.      Validitas atau Keabsahan Kebenaran Dalam Ilmu Kalam.

Berdasarkan objek pembahasan ilmu kalam, yakni eksistensi Tuhan dan sifat-sifat Nya dalam hubungannya dengan alam semesta serta manusia,  metode yang digunakan adalah deduktif dengan menjadikan eksistensi Tuhan sebagai suatu hal yang diyakini kebenarannya.. Penalaran metode deduktif mensyaratkan penggunaan teori koherensi sebagai ukuran kebenaran dalam proses pengambilan suatu pengetahuan. Menurut teori koherensi ini kebenaran satu proposisi hanya dapat diterima jika sesuai dengan proposisi sebelumnya yang sudah diterima kebenarannya.[9] Berangkat dari pernyataan dan pengakuan yang sudah mutlak benar itu  kemudian diikuti  dengan prinsip-prinsip yang membuktikannya.  Para ahli kalam berbeda dalam perspektif ini karena adanya perbedaan dalam menampilkan konsep Tuhan yang dijadikan premis utama.Ketika kaum Mu’tazilah tertarik pada masalah kebebasan untuk berkehendak dan berbuat, maka titik pangkal pemikiran mereaka bukan pada masalah itu sendiri tetapi mereka mengkaji masalah tersebut selama ada kaitannya dengan eksistensi Tuhan, yaitu apakah kebebasan berkehendak dan berbuat sesuai atau tidak dengan konsep mengenai Tuhan Yang Maha Adil. Bagi kaum Mu’tazilah, seperti yang diterangkan oleh ‘Abdul Jabbar, keadilan erat hubunganya dengan hak, dan konsep Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah baik, Tuhan tidak dapat berbuat buruk dan  tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajibanNya terhadap manusia.[10] Berbeda dengan kaum Mu’tazilah yang menjunjung tinggi konsep keadilan Tuhan, kaum As’ariyah justru menjunjung tinggi  konsep kekuasaan mutlak Tuhan. Doktrin kaum Asy’ariyah mengenai hubungan perbuatan manusia    dalam kaitannya dengan kekuasaan mutlak Tuhan digambarkan dengan istilah al-Kasb. Al-Kasb, demikian al-Asy’ari mengatakan, adalah sesuatu yang timbul dari yang berbuat  (al-muktasib) dengan perantaraan daya yang diciptakan.[11] Dengan kata lain, yang mengujudkan al-kasb (perbuatan manusia) sebenarnya adalah Tuhan sendiri, karena bagi al-Asy’ari Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak yang menghendaki segala apa yang mungkin dikehendaki. Jika Tuhan menghendaki sesuatu, ia pasti ada dan jika Tuhan tidak menghendakinya niscaya ia tiada.[12] Hal ini didasarkan firman Tuhan, “Kamu tidak menghendaki kecuali Tuhan menghendaki” (QS. 76: 30). Ayat ini di artikan oleh al-Asy’ar bahwa manusia tidak bisa menghendaki sesuatu itu. Jadi dari konsep kekuasaan mutlak Tuhanlah al Asy’ari sampai kepada kesimpulan bahwa perbuatan-perbuatan manusia adalah diciptakan Tuhan.[13] Berdasarkan analisa terhadap doktrin yang  dikemukakan oleh kedua aliran  teologi di atas nampaklah bahwa adanya penggunaan metode deduktif dalam kajian kalam, yaitu penurunan doktrin dari yang bersifat umum ke doktrin yang bersifat khusus  dengan konsekwensi bahwa teori koherensi  sebagai kriteria dalam mencapa kebenaran. Penggunaan teori koherensi sebagai kriterium kebenaran sudah barang tentu menjadikan pemikiran kalam klasik bercorak metafisik-spekulatif dan kurang mampu berdialog dengan  realitas empiris kehidupan masyarakat yang terus berubah. Corak bangunan epistemologi ilmu kalam yang demikian, yakni kriteria kebenaran didasarkan kepada kesesuaian logik antara doktrin-doktrin  yang dibangun memerlukan adanya  kritik historis. Produk pemikiran kalam klasik sebagai respon terhadap fenomena masyarakat  yang muncul pada penggalan  sejarah  tertentu barangkali memang relevan  dengan persoalan-persoalan pada  masanya, tapi akan menjadi mandul dan kehilangan makna ketika dihadapkan pada fenomena empirik kontemporer. Pada sisi inilah barangkali diperlukan adanya pembaharuan epistemologi ilmu kalam klasik yang demikian.Pola logika pemikiran Kalam yang bersifat deductive adalah mirip-mirip dengan pola berpikir Plato. Plato pernah berpendapat bahwa segala sesuatu  yang dapat diketahui oleh manusia adalah berasal dari idea, yaitu ide-ide yang telah tertanam dan melekat pada diri manusia  secara kodrati sejak awal mulanya. Ide kebajikan dan keadilan misalnya, menurut Plato, tidaklah diketahui lewat pengalaman historis-empiris-induvtive tapi diperoleh dari ide bawaan yang dibawa oleh manusia sejak sebelum lahir. Manusia tinggal mengingat kembali tentang ide-ide bawaan yang telah melekat begitu rupa dalam keberadaannya.  Seperti yang ditulis Amin Abdullah bahwa Plato tidak pernah menyetujui pendapat bahwa ilmu pengetahuan dapat diperoleh manusia  lewat pengetahuan dan pemeriksaan  secara cermat dan seksama terhadap realitas alam dan realitas sosial sekitar lewt pengamatan  dan engalaman indrawi. Pemikiran Islam pada umumnya  dan pemikiran kalam pada khususnya  juga bersifat deductive seperti itu. Hanya saa fungsi ide-ide bawaan dalam pola pikir Plato terebut diganti untuk tidak mengatakan  diislamkan oleh ayat-ayat Alquran  dan teks-teks hadis. Bahkan sering kali melebar  sampai keijma’ dan qiyas. Perjhatian kepada perlunya dalil dan istidlal   sebagai landasan pola pikir dan pola bertindak dalam kehidupan keseharian umat Islam. Pola pikir ini dengan mudah menggiring seseorang dan kelomok ke arah model berfikir yang justifikatif terhadap tek-teks yang sudah tersedia.[14]

E.       Membangun Ilmu Kalam Kontemporer.

Jika teologi betul-betul ingin menjadi ilmu, demikian Nancey Murphy mengutip Wolfhart  Pannenberg, maka ia tidak cukup semata-mata merupakan studi atas kitab suci tapi harus mencari dan menemukan sejumlah masukan berdasarkan data empiris kontemporer.[15]Pendapat senada dikemukakan oleh guru besar Studi  Agama dari University of California, Walter H. Capps, bahwa studi agama masa depan harus meminjam dan mengadaptasi  sejumlah pemahaman dan penemuan dari berbagai disiplin keilmuan yang lain.[16] Di bagian awal tulisan ini disampaikan bahwa pola pikir dan logika yang digunakan dalam ilmu kalam (‘aqidah,  doktrin, dogma) adalah pola pikir deduktive, pola pikir yang sangat tergantung pada sumber utama (teks). Sejauh yang diketahui bahwa pola pikir deductive hanyalah salah satu saja daripola pikir yang ada. Masih ada yang disebut dengan inductive dan abductive. [17] Pola pikir inductive mengatakan bahwa  ilmu pengetahuan bersumber  dari realitas  empiris-historis. Realitas empiris-historis yang berubah-ubah, yang bisa ditangkap oleh indera dan dirasakan oleh pengalaman dan selanjutnya diabstraksikan  menjadi konsep-konsep, rumus-rumus, ide-ide, gagasan-gagasan, dalil-dalil yang disusun sendiri  oleh akal pikiran.[18] Dalam pola pikir inductive tidak ada sesuatu apapun yang disebut ilusif. Semua yang dikenal oleh manusia dalam dunia konkret ini  dapat dijadikan  sebagai bahan dasar ilmu pengetahuan, tidak terkecuali ilmu kalam. Tapi menurut Amin Abdullah, dalam analisis sejarah perkembangan ilmu pengetahuan (history of science) pola pikir deductive dan inductive dianggap sudah tidak memadai lagi untuk dapat menjelaskan secara cermat  tata kerja diperolehnya ilmu pengetahuan yang sesungguhnya. Perkembangan ilmu pengetahuan era abad 20 memunculkan kategori baru dalam pola pikir keilmuan, yaitu pola pikir abductive. Pola pikir ini lebih menekankan the logic of discovery dan bukan the logic of justification. Pengujian secara kritis terhadap apa yang dapat disebut sebagai bangunan keilmuan, termasuk didalamnya rumusan manuasia tentang keilmuan agama atau rumusan-rumusan aqidah dapat dikaji kembali validitas dan kebenarannya melalui pengalaman-pengalaman yang terus-menerus berkembang dalam kehidupan praksis sosial yang aktual.[19] Persoalan-persoalan yang dihadapi pada masa sekarang ini lebih diwarnai oleh isu-isu yang menuntut masalah kemanusiaan secara universal. Isu seperti demokrasi, pluralitas agama dan budaya, hak asasi manusia, lingkungan hidup, kemiskinan struktural menjadi tantangan sekaligus menjadi agenda persoalan yang dihadapi oleh generasi kini. Isu-isu tersebut jelas berbeda dengan isu-isu abad tengah dan zaman klasik yang biasa diangkat dalam kajian kalam dan falsafah Islam klasik.[20] Ketika dihadapkan kepada isu-isu tersebut pengembangan dan pembaharuan pemikiran ilmu kalam memang merupakan keniscayan. Tahapan awal dalam upaya mengembalikan “keseimbangan” antara bobot pemikiran ilmu kalam klasik  yang bermuatan moralitas normatif dan tuntutan perkembangan ilmu pengetahan kontemporer yang bersifat empiris mutlak diperlukan kritik epistemologis yang mendasar.[21] Selanjutnya upaya rekonstruksi harus menuju sebuah format teologi yang bisa berdialog dengan realitas dan perkembangan pemikiran yang  berjalan sa’at ini. Untuk itu objek kajian ilmu kalam klasik yang bersifat transendent-spekulatif, seperti pembahasan tentang sifat-sifat Tuhan, yang relevansinya kurang jelas dengan kehidupan masa kini  harus diganti dengan kajian yang lebih aktual, seperti hubungan Tuhan dengan manusia dan sejarah, korelasi antara keyakinan agama dengan pemeliharaan keadilan dan masih banyak lagi aspek lain. Bahkan Hassan Hanafi, seorang filosuf Muslim kontemporer secara radikal melontarkan tentang perlunya diupayakan pergeseran wilayah pemikiran yang dahulu hanya memusatkan perhatian kepada persoalan-persoalan ketuhanan (teologi) ke arah paradigma pemikiran yang lebih menelaah dan mengkaji secara serius persoalan kemanusiaan (antropologi).[22] Ada delapan langkah yang ditawarkan oleh Hassan Hanafi menuju perubahan ini. 1. from God to Land; 2. from Eternity to Time; 3. from Predistination to Free will 4; from Authoryti to Reason 5; from Theory to Action; 6. from Charisma to Mass-participation; 7.  from Soul to Body; dan 8 from Eschatology to Futurology.[23] Begitu pula sumber kebenaran ilmu kalam kontemporer, tidak hanya terpusat pada wahyu dan dataran konsep yang dipikirkan tapi secara metodologis  harus menerima masukan dari produk barbagai disiplin keilmuan kontemporer.[24] Nancy Murphy, seorang ahli teologi mengatakan bahwa teori koherensi sebagai kriteria kebenaran  dalam kajian teologi (Teologi Islam, pen.)  klasik, pada ilmu kalam kontemporer bukan lagi satu-satunya pilihan epistemologis.[25] Di sini, Murphy pertama melihat apa yang disampaikan oleh Alasdair MacIntyre dan Robert Bellah dan lainnya dimana mereka memperbaharui pandangan betapa pentingnya peran sebuah  komunitas.[26]  Para penganut modernis mengasumsikan bahwa individu merupakan seorang yang cakap sama halnya dengan yang lain untuk  membentuk berbagai kepercayan dan mengucapkan bahasa (pembimbing bagi lainnya). Pengetahuan dan bahasa masyarakat hanyalah semata-mata koleksi dari individu-individu. Akan tetapi dalam priode posmodernism, komunitas memainkan sebuah aturan yang sangat penting. Komunitas ilmuanlah yang memutuskan kapan berbagai fakta dipandang  telah menyimpang secara serius. Komunitas harus menetapkan dalam hal apa perubahan dilaksanakan dan bagaimana ia dilakukan. Aturan-aturan permainan bahasa dimana seorang terlibat  secara pribadi di dalamnya dan menentukan apa yang semestinya dikatakan atau tidak dikatakan adalah sesuatu yang semestinya mendapat perhatian. Pendek kata,  bahasa dan apa yang diketahui merupakan praktek-praktek yang tidak pernah lepas dari tradisi, keduanya adalah prestasi komunitas.

Dalam era posmodernism, holisme sebagai bentuk epistemologi dan teori makna di pihak lain pada dasarnya memiliki hubungan yang tidak bisa ditawar lagi. Oleh karena itu, dalam pandangan Murphy, untuk menetapkan jaringan   kita terhadap kepercayan dalam memandang dunia, seseorang harus terlebih dahulu merubah kepercayaannya yang khusus (internalized) tentang dunia sekaligus dapat menetapkan berbagai macam arti supaya memperoleh hasil yang lebih baik. Keyakinan dan kebermaknaan tak bisa dipisahkan.[27]

Dalam hubungannya dengan postmodern-theology, Murphy berangkat dari teologi post-liberal Lindbeck dengan teori holistiknya mengenai pengetahuan dan pengenalannya terhadap fungsi bahasa yang berbeda-beda.[28] Demikian pula Thienmann yang melihat secara teliti hubungan antarkeduanya dalam kaitannya dengan  usulan sebuah pembenaran (justification) yang tanpa dasar (terlembaga) terhadap doktrin wahyu.[29] Dalam usulannya terhadap teologi, ia menggunakan pendekatan “yang tanpa dasar” terlebih dahulu. Artinya, dengan ungkapan sederhana,  tanpa terikat oleh suatu ajaran yang dilembagakan atau agama yang sudah dilembagakan. Dalam perspektif teologi Islam (ilmu kalam), Islam misalnya bukan lagi Khawarij, bukan al-Asy’ariah, Mu’tazilah dan lain sebagainya. Di sini Thienmann menggunakan model pengetahuan yang bebas dasar teori (terlembagakan) atau starting point atau pembenaran terlebih dahulu dari sebuah keyakinan. Era postmodernism ingin melihat fenomena sosial, fenomena keberagamaan apa adanya tanpa harus terlebih dahulu “terkurung”   oleh  anggapan dasar dan teori baku  apalagi standard yang diciptakan pada masa rentang waktu tertentu (modernism). Demikian keberagamaan dan kepercayaan dilihat dalam perspektif ini. Pandangan terhadap teologi tanpa konsep awal ini, memang pada mulanya merupakan gambaran utama keyakinan orang-orang Kristen  dan praktek-praktek ibadahnya. Hal ini mencoba untuk menunjukkan keyakinan orang-orang Kristen itu dapat dipahami, cocok dan dijamin ketepatannya, memberikan perhatian praktis gambaran yang inheren dalam kepercayan dan praktek ibadah  mereka secara khusus ketimbang hanya merupakan sebuah teori besar saja dari kaum rasionalis. Seperti yang telah diketahui bahwa teori-teori ilmu sosial modern mengandaikan adanya struktur dan rekonstruksi baku yang bisa dibangun secara kokoh dan bisa berlaku secara universal. Apa yang disebut dengan grand theory, begitu hebatnya, sehingga orang percaya berlebihan terhadap keampuhan teori tersebut.  Grand Theory dianggap mampu menjelaskan berbagai gejala sosial dimana saja dan kapan saja. Dominasi teori-teori besar seperti itu, dengan mengikuti apa yang dikatakan Amin Abdullah, menutup kemungkinan munculnya teori-teori  lain yang barangkali jauh lebih dapat membantu memahami realitas dan memecahkan persoalan. Klaim adanya metodologi baku, standard, yang tak bisa diganggu gugat, itulah yang ditentang oleh orang-orang seperti Paul Feyerabend.[30] Bila konsep di atas dihubungkan dengan Islam, ada  berbagai ciri khas teologi  non-foundationalism seperti yang disebutkan itu: pertama, pembenaran kepercayan adalah khusus kepada keimanan seorang Muslim, jama’at dan berbagai tradisinya; kedua, bahasa teologis yang ditawarkan adalah terikat kepada  aspek keimanan dan ketiga, teologi menggunakan pembenaran menyeluruh dan mencari hubungan antara kepercayaan yang diperselisihkan (khilafiyah) dan jaringan keyakinan yang saling berhubungan dimana ia terdapat pada proses sebuah pendekatan rasional.[31] Kendatipun semangat  fundamentalism begitu menyolok dalam fenomena seperti ini tapi yang demikian bukanlah satu-satunya gejala yang ada di dalamnya, bahkan terdapat perkembangan yang sering bertolak belakang. Perubahan yang cenderung anarchis dan kemajemukan wacana mendorong sebagian cendikiawan  untuk memunculkan paradigma pemikiran  yang lebih inklusif, toleran, dan perlunya pengertian terhadap kelompok lain.[32] Oleh karena itu menurut Murphy, seseorang harus memperhatikan pertanyaan Jeffrey Stout “apakah kebenaran berbagai kelompok kepercayaan dan validitas pemahaman mereka semata-mata terserah kepada mereka”. Thienmann, bahkan, mengatakan tidak ada petunjuk sama sekali untuk memilih antara berbagai sistem teologis yang masing-masing berbeda. Menurut Linbeck masalah kebenaran muncul dalam bentuk: pertama,  konsistensi atau pertalian masing-masing bagian dari sebuah sistem, yaitu sistem dalil-dalil yang ditawarkan, pernyataan-pernyataan doktrinal teologis dan praktek-praktek keagamaan  masyarakat; ke dua, Lindbeck sendiri mengajukan pertanyaan tentang :kebenaran agama itu (its self).[33]

Dalam melihat agama sebagai sebuah keyakinan, Lindbeck, secara epistemilogis, membandingkan agama-agama dengan pemahaman teoritis ilmu pengetahuan, khususnya sains. Dalam sebuah teori, seseorang harus mengevaluasi klaim-klaim kebenaran berdasarkan ketetapan di antara berbagai keyakinan beserta pengalaman-pengalaman yang ada. Untuk evaluasi ini seseorang harus menggunakan berbagai kriteria, termasuk kemampuannya untuk memahami data baru dan menyiapkan penafsiran yang mudah dipahami dari berbagai situasi.

F.       Kritik: Teologi sebagai Aktivitas Teoritis.

            Dalam tulisannya, Murphy, dengan mengutip pemikiran Thienmann dari karyanya Revelation and Theology mengkritik pendekatan modern yang melihat bahwa teologi sebagai kajian teoritis semata. Dalam hubungannya dengan teologi Islam (Ilmu Kalam), dengan menggunakan pendekatan ini, ada dua hal penting dalam kajian teologi yaitu: bawa ia harus bebas dari argumen logik kepercayaan dan praktek-praktek lokal keagamaan orang Islam yang berada pada kurun waktu dan ruang tertentu, kemudian di dalamnya terkandung referensi yang memada untuk mengukur pendapat internal tradisi-tradisi Muslim sendiri.

Terhadap masalah ini, Imre Lakatos, seorang yang banyak berpengaruh dalam pemikiran Murphy,  sudah banyak berbicara  tentang bagaimana  teologi ini didekati dengan program riset, memang memiliki  kemiripan dengan  postmodernism yang ingin merubah, memperbaiki, membongkar serta membangun kembali konstruksi pemikiran keagamaan yang dipandangnya kurang peka terhadap tantangan perkembangan dan perubahan sejarah yang sedang berlangsung.

Lewat pendekatan progran riset itu  nampaknya perubahan yang akan dilakukan bukanlah konstruksi bangunan dasar keagamaan secara keseluruhan melainkan wilayah  periperial atau wilayah interpretasi terhadap ajaran. Dalam program riset Imre  Lakatos, terdapat aturan-aturan metodologis yang salah satunya disebut dengan negative heuristic. Tujuan metode ini adalah mempertahankan hard core (inti pokok). Dalam negative heuristic, penelitian tidak boleh diarahkan kepada hard core akan tetapi diarahkan kepada hipotesis  pembantu yang berada di sekeliling hard core yang berfungsi sebagai protective belt (lingkaran pengaman). Hipotesis bantu inilah yang menjadi sasaran penelitian sehingga harus selalu dilakukan penyesuaian atau  menggantinya secara keseluruhan untuk mengamankan hard core.[34] Dengan lain ungkapan, bahwasanya wilayah inti (hard core) daripada wahyu serta dimensi normativitas ajaran agama akan tetap seperti itu apa adanya, dan hanya wilayah interpretasi ajaran agama yang bersifat historis-relativ yang akan masih berkembang sesuai dengan perkembangan akal budi dan perkembangan ilmu pengetahuan manusia, yang akan terkena proses dekonstruksi. Jika memang begitu adanya, maka dengan terjadinya proses dekonstruksi  justru menunjukkan adanya dinamika keberagamaan manusia dalam arti yang sesungguhnya. Berbeda dengan Lakatos, Thienmann menghendaki  sebuah teologi yang terlepas dari kekuatan lembaga-lembaga atau dasar-dasar teori sebelumnya, sehingga seseorang akan dapat berimprovisasi sendiri. Ia mengatakan tidak ada petunjuk untuk memilih salah satu dari berbagai sistem yang ada. Jadi ciri khas dari sebuah teologi postmodernism itu memang anti-foundational yang  menolak segala bentuk konsep yang berfungsi sebagai starting point untuk membangun sebuah kebenaran, dan juga anti-totalizing yang mengkritik teori tentang totalitas dari sebuah realitas.[35] Nancey Murphy sebenarnya berusaha untuk menarik sebuah sintesis dari dua model pemikiran di atas. Disatu pihak ia banyak mengambil pola pikir program riset Imre Lakatos untuk tujuan sebuah teologi rekonsiliasi yang dapat menilai jasa-jasa dari sistem kepercayaan yang berbeda, sedangkan di lain pihak memperhatikan peringatan Thienmann akan kerugian menerapkan dasar-dasar umum rasionalitas yang begitu kurang memperhatikan dan berusaha merubah model-model pembenaran serta evaluasi  yang melekat pada ajaran bahasa pertama keyakinan orang-orang yang sudah menganut sebuah agama tertentu dan praktek-praktek ibadah mereka. Masing-masing program riset yang bersifat teologis dapat menunjukkan logik internnya sendiri berdasarkan atas keyakinan dan pembenaran yang ditawarkan oleh komunitas yang relevan. Apa yang ingin disampaikan disini  adalah bahwa kebenaran agama itu biarlah berjalan apa adanya, substansi kebenaran agama berlangsung apa adanya dan tak perlu diragukan apalagi ditolak. Hanya saja yang utama dari semua itu adalah perlunya pembenahan ulang terhadap berbagai konsep dan teori dimana dan dalam kondisi apa  ilmu kalam itu dibangun. 

G.      Penutup.          

Dalam tulisan ini,  sudah barang tentu tidak ada maksud menghapus jasa besar dari format ilmu kalam klasik yang sudah banyak memberikan muatan spritualitas  keagamaan umat Islam, tapi kritik epistemologi mau tidak mau harus dilakukan jika umat Islam ingin mengetahui berbagai penyimpangan yang terjadi dalam realitas  kehidupan Muslim dan  menjadikan agama sebagai salah satu alat memecahkan problem sosial yang sedang dihadapi. Perlunya pembenahan itu antara lain pada struktur epistemologi yang terkandung di dalamnya, sumber, metodologi dan keabsahan kebenaran yang telah didapatkan darinya. Untuk itu diperlukan pendekatan berbagai disiplin  ilmu-ilmu yang  lain, bahkan sikap dan pengalaman agama lain  untuk melihat lebih dekat agama kita sendiri.    

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. 1995. “Aspek Epistemologi Filsafat Islam” dalam Irma Fatimah (ed). Filsafat Islam, Yogyakarta: LSFI,

 ——————-Falsafah Kalam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

——————- 2000. “Kajian Ilmu Kalam di IAIN menyongsong Perguliran Paradigma Keilmuan Keislaman Pada Era Milenium Ketiga” dalam al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 65/VI. Yogyakarta: IAIN Suka.

Asy’ary al Abu Hasan. 1965.  Kitab al-Luma’ fi al-Rad ‘ala Zaig wa al-Bida’, Kairo: tp.

Asy’ary al Abu Hasan. 1977. al-Ibanah ‘an Ushul al-Diniyyah. Mesir: tp.

Azra, Azyumardi. 1999 Konteks Berteologi Di Indonesia, Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina.

Blackburn, Simon. 1994. The Oxford Dictionary of Philosophy, New York: Oxford University Press.

Brummer, Vincent. 1981. Theology and Philosophical Inquiry: An Introduction, London: The MacMillan Press Ltd.

Bucher, Justus. 1980. Cherles Peirce’s Empirisme, New York: Octagon Books.

Capps. H. Walter. 1995. Religious Study: The Making of a Discipline, Minneapolis: Augsburg Portres.

Degobar D. Runes. 1976. Dictionary of Philosophy, New Jarse:Littlefield, Adams co.

Hanafi, Hassan, t.t. Dirasat Islamiyyah. Kairo: Maktabah al-Anjilo al-Misriyyah.

Hasset D. 1868. Epistemology for All, Cork: The Marcier Press.

Hidayat, Komarudin. 1996.  Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina.

Jabbar, al-Ahmad. 1965. Syarh al-Ushul al-Khamsah, Kairo: Maktabah Wahbah.

Jabiry, al. 1990. Bunyah al-‘Aql al-‘Araby, Beirut: Markas Dirasah al-Waddah al-‘Arabiyyah.

Lakatos, Imre. 1970. “Falsification and the Metodology of Scientifc Research Programmes” dalam Criticism and Growth of Knowledge Imre Lakatos dan Alan Musgrave. London: Cambridge University Press.

Linbeck. 1984. The Nature of Doctrine. Philadelphia: Westminster Press.

Murphy, Nancey. 1990. Theology i the Age of Scientific Reasoning, Ithaca and London: Cornell University.

Nasution, Harun. 1972.  Teologi Islam , Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press.V

ia JR Dan O. dalam AKM Adam. 1995. What is Postmodernism Biblical Criticism, Minniapolis:Fortress Press.

[1] Komaruddin Hidayat. Memahami Bahasa Agama , Sebuah Kajian Hermeneutik  (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 23

[2] Ibid, hal. 9

[3] Ibid, hal. 241

[4] Harun Nasution. Teologi Islam, Sejarah  Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1972), hal. 151.

[5] Abid al-Jabiry. Bunyah al-‘Aql al-‘Araby (Beirut: Markas Dirasah al-Waddah al-‘Arabiyah, 1990), hal. 15.

[6] Dalam logika klasik, dialektika berarti suatu metode diskusi tertentu dan cara tertentu dalam berdebat yang didalamnya ide-ide kontradiktif dan pandangan yang saling bertentangan dilontarkan. Masing-masing pandangan itu berupaya menunjukkan titik-titik kelemahan dan kesalahan lawannya berdasarkan pengetahuan dan preposisi-preposisi yang sudah diakui. Perbedaan dan pertentangan di kalangan mutakallimin ini (Mu’tazilah dan Asy’ariyah) pada dasarnya lebih disebabkan faktor ideologis mazhabi ketimbang pengetahuan epistemologi yang berbeda.

[7] Ibid., hal. 70

[8] Ada 3 (tiga) tiga yang berkaitan dengan hubungan antara  lafadz dan makna, yaitu: pertama, monisme yang berpendapat bahwa makna dengan lafadz atau bentuk teks merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, Dengan kata lain tidak ada kemungkinan perbedaan pendapat dalam memahamai teks karena antara teks dan maknanya adalah sesuatu yang manunggal datu kesatuan.  Kedua, aliran dualisme yang mengatakan  bahwa antara lafadz dan makna dapat dipisahkan. Dengan kata lain bahwa masing-masing mempunyai eksistensi tersendiri, meskipun ada hubungan tetapi hubungan tersebut tidaklah begitu kompleks. Ketiga:  aliran pluralisme yang mengatakan bahwa hubungan antara lafadz dan makna sangat kompleks. sebuah teks menurut aliran ini merupakan konstruk meta-fungsional yang terdiri dari makna ideasional, interpersonal dan tekstual yang kmpleks. Dengan kata lain, bukan hanya masing-masing makna dan bentuk mempunyai eksistensi tersendiri, tapi hubungan antara keduanya bersifat amat kompleks. (lihat Amin Abdullah. “Kajian Kalam……….”dalam al-Jami’ah, no. 65/vi/2000, hal. 87).

[9] Vincent Brummer. Theology and Philosophical Inquiry: An Introduction (London: The MacMillan Press Ltd., 1981), hal. 172.

[10] Abd al-Jabbar Ahmad. Syarh al-Ushul al-Khamsah, Abd. al-Karim ‘Usman (ed), (Kairo: Maktabah Wahbah, 1965), hal. 132-3

[11] Abu Hasan al-Asy’ari. Kitab al-Luma’ fi al-Rad ‘ala Zaig wa al-Bida’ (Kairo: tp., 1965), hal. 76.

[12] Al-Asy’ari. al-Ibanah ‘an Ushul al-Diniyah, Fauqiyah Husein Mahmud (editor), (Mesiar: tp., 1977), hal. 51.

[13] al-Asy’ary. Luma’., hal. 57 dan 70

[14] HM. Amin Abdullah” Kajian Ilmu Kalam di IAIN” hal. 85

[15] Nancey Murphy. Theology in The Age of Scientific Reasoning (Ithaca and London: Cornell University Press, 1990), hal. 87.

[16] Walter H. Capps. Religious Study: The Making of a Discipline (Minneapolis: Augsburg Portress, 1995), hal. 331.

[17] Lihat Justus Bucher. Charles  Peirce’s Empiricism (New York: Octagon Books, 1980), hal. 38-40

[18] M. Amin Abdullah: “Kajian Ilmu Kalam Di IAIN Menyongsong Perguliran Paradigma Keilmuan Keislaman Pada Era Milenium Ketiga” dalam  Al-Jami’ah, Journal of Islamis Studies, No 65, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2000), hal. 84-85.

[19]M. Amin Abdullah, Al-Jami’ah, Op. Cit. hal. 86

[20] Amin Abdullah. Falsafah Kalam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal. 89

[21] Ibid, hal. 29

[22] Hassan Hanafi. Dirasat Islamiyyah (Kairo: Maktabah al-Anjilo al-Misriyyah, tt.), hal. 205.

[23] Hassan Hanafi: “From Dogma o Revolution”, yang isinya merupakan resume karyanya, Minal ‘aqidah ila al-Tsauroh, Muhawalah li I’adat Bina i al-‘Ilm Ushul al-Diin, 5 Jilid.

[24] Walterr H. Capps. Op. Cit., hal. 331

[25] Nancey Murphy. Op. Cit. hal. 201

[26] Ibid., hal. 202

[27] Nancey Murphy. Op. cit. hal. 202

[28] Linbeck. The nature of Doctrine (Philadelphia: Westminster Press, 1984), hal. 34

[29] Dalam pandangan Murphy, karya-karya George Lindbeck dan Ronal Thienmann dikategorikan posmodern

[30] Amin Abdullah. Falsafah Kalam. hal. 99.

[31] Konsep ini pada awalnya merupakan penjelasan Nancy Murphy terhadap keyakinan Kristen. lihat Nancey Murphy Theology…… hal. 203

[32] Azyumardi Azra. Kontek Berteologi di Indonesia, Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 16.

[33] Lindbeck. Op. cit. hal. 64-66

[34] Imre Lakatos “Falsification and the Methodology of Scientific Research Programmes” dalam Criticism and Growth of Knowledge, Imre Lakatos dan Alan Musgrave (ed) (London: Cambridge University Press, 1970), hal. 132.

[35] Dan O. Via JR. (ed) dalam AKM Adam, What is Postmodern Biblical Criticism (Minniapolis: Fortress Press, 1995) hal. vii

Minggu, 21 April 2013

AL-GHAZALI DAN KRITIKNYA TERHADAP KEBENARAN FILSAFAT



Oleh : Syafieh, M. Fil. I

A.      Pendahuluan

Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.

Dalam makalah ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali, seorang ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak,  mulai dari pikiran beliau dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat. Dalam Hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali yang berkaitan dengan biografi, hasil karya, pemikirannya dan kritik terhadap filosof Muslim lainnya.

B.       Al-Ghazali

1.      Biografi dan Pendidikannya

Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah Persia tahun 450 H (1058 M). Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal benang dan menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang hebat, sebelum meninggal dunia, ia berwasiat kepada teman akrabnya yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh al-Ghazali. Maka ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup dan belajar Imam Ghazali.[1]Ia wafat di Tusia, sebuah kota tempat kelahirannya pada tahun 505 H (1111 M) dalam usianya yang ke 55 tahun.

Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Rozakani (teman ayahnya yang merupakan orang tua asuh al-Ghazali), kemudian ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di negeri Jurjan. Setelah mempelajri beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Naishabur dan belajar pada Imam Al-Haromain. Di sinilah ia mulai menampakkantanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu matiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. Karena kecerdasannya itulah Imam Al-Haromain mengatakan bahwa al-Ghazali itu adalah ”lautan tak bertepi...”.[2]

Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naishabur untuk menuju ke Mu’askar,[3]ia pergi ke Mu’askar untuk melakukan kunjungan kepada Perdana Mentri Nizam al Muluk dari pemerintahan Bani Saljuk. Sesampai di sana, ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama besar. Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki al-Ghazali. Menteri Nizam al Muluk akhirnya melantik al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M. Sebagai guru besar (profesor) pada perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad. Al-Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi tersebut selama 4 (empat) tahun. Ia mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik yang datang dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia menjauhkan diri dari keramaian.[4]

Di samping ia menjadi guru besar di perguruan tinggi Nizamiyah ia juga diangkat sebagai konsultan (mufti) oleh para ahli hukum Islam dan oleh pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat. Akan tetapi kedudukan yang diperoleh di Baghdad tidak berlangsung lama akibat adanya berbagai peristiwa atau musibah yang menimpa, baik pemerintahan pusat (Baghdad) maupun pemerintahan Daulah Bani Saljuk, di antara musibah itu ialah: pertama, pada tahun 484 H/1092 M, tidak lama sesudah pertemuan al-Ghazali dengan permaisuri raja Bani Saljuk, suaminya, Raja Malik Syah yang terkenal adil dan bijaksana meninggal dunia. Kedua, pada tahun yang sama (485 H/1092 M), perdana Menteri Nidham Al-Muluk yang menjadi sahabat karib al-Ghazali mati dibunuh oleh seorang pembunuh bayaran di daerah dekat Nahawand, Persi. Ketiga, dua tahun kemudian, pada tahun 487 H/1094 M, wafat pula Khalifah Abbasiyah, Muqtadi bi Amrillah.

Ketiga orang tersebut di atas, bagi al-Ghazali, merupakan orang-orang yang selama ini dianggapnya banyak memberi peran kepada al-Ghazali, bahkan sampai menjadikannya sebagai ulama yang terkenal.[5] Dalam hal ini, karena mengingat ketiga orang ini mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap pemerintahan bani Abbas yang pada saat itu dikendalikan oleh daulah Bani Saljuk, meninggalnya ketiga orang ini sangat mengguncangkan kestabilan pemerintahan bergelar Mustadhhir Billah (dilantik tahun 487 H/1094 M). Pemerintahan menjadi sangat lemah untuk menangani kemelut yang terjadi di mana-mana terutama dalam menghadapi teror aliran Bathiniyah yang menjadi penggerak dalam pembunuhan secara gelap terhadap Perdana Menteri Nidham Al-Muluk.[6]

Dalam suasana kritis itulah, Al-Ghazali di minta oleh Khalifah Mustadhir Bilah (Masa Bani Abbasiyah) untuk terjun dalam dunia politik dengan menggunakan penanya. Menurutnya, tidak ada pilihan, kecuali memenuhi permintaan Khalifah tersebut. Ia kemudian tampil dengan karangannya yang berjudul Fadha’il Al-Bathiniyah wa Fadha’il Al-Mustadhhiriyah (tercelanya aliran Bathiniyah dan baiknya pemerintahan Khalifah Mustadhhir) yang disingkat dengan judul Mustadhhiry. Buku itupun disebarluaskan di tengah masyarakat umum, shingga simapti masyarakat terhadap pemerintahan Abbasiyah kala itu dapat direbut kembali. Kemudian timbullah gerakan menentang aliran Bathiniyah, tetapi sebaliknya pula, gerakan Bathiniyah ini tidak berhenti untuk menjalankan pengaruhnya untuk membuat kekacauan.[7]

Al-Ghazali merupakan seorang yang berjiwa besar dalam memberikan pencerahan-pencarahan dalam Islam. Ia selalu hidup berpindah-pindah untuk mencari suasana baru, tetapi khususnya untuk mendalami pengetahuan. Dalam kehidupannya, ia sering menerima jabatan di pemerintahan, mengenai daerah yang pernah ia singgahi  dan terobosan yang ia lakukan antara lain:

a.    Ketika ia di Baghdad, ia pernah menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah selama 4 (empat) tahun.

b.    Ia meninggalkan kota Baghdad untuk berangkat ke Syam, di Syam ia menetap hampir 2 (dua) tahun untuk berkhalwat melatih dan berjuang keras membersihkan diri, akhlak, dan menyucikan hati hati dengan mengingat Tuhan dan beri’tikaf di mesjid Damaskus.

c.    kemudian ia menuju ke Palestina untuk mengunjungi kota Hebron dan Jerussalem, tempat di mana para Nabi sejak dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Isa mendapat wahyu pertama dari Allah.

d.   tidak lama kemudian ia meninggalkan Palestina dikarenakan kota tersebut di kuasai Tentara Salib, terutama ketika jatuhnya kota Jerussalem pada tahun 492 H/1099 M, lalu iapun berangkat ke Mesir, yang merupakan pusat kedua bagi kemajuan dan kebesaran Islam sesudah Baghdad.

e.    Dari Palestina (Kairo), iapun melanjutkan perjalanannya ke Iskandariyah. Dari sana ia hendak berangkat ke Maroko untuk memenuhi undangan muridnya yang beranama Muhammad bin Taumart (1087-1130 M), yang telah merebut kekuasaanya  dari tangan kaum Murabithun, dan mendirikan pemerintahan baru yang bernama Daulah Muwahhidun. Ia mengurungkan niatnya untuk pergi memenuhi undangan ke Maroko, ia tetap tinggal di Mekkah, ia  berasalan untuk melaksanakan kewajiban yang ke lima dalam rukun Islam, yakni melaksanakan ibadah haji, kemudian ia menziarahi kuburan Nabi Ibrahim.

f.     Selanjutnya ia kembali ke Naisabur, di sana ia mendirikan Madrasah Fiqh, madrasah ini khusus untuk mempelajari ilmu hukum, dan membangun asrama (khanqah) untuk melatih Mahasiswa-mahasiswa dalam paham sufi di tempat kelahirannya.[8]

2.      Karya-Karya Al-Ghazali

Sebagai seorang ulama dan pemikir dalam dunia Islam, tentunya ia sangat tekun untuk menulis kitab. Jumlah kitab yang ditulis al-Ghazali sampai sekarang belum disepakati secara definitif oleh para penulis sejarahnya. Menurut Ahmad Daudy, penelitian paling akhir tentang berapa jumlah buku yang dikarang oleh al-Ghazali seperti halnya yang dilakukan oleh Abdurrahman Al-Badawi, yang hasilnya dikumpulkan dalan satu buku yang berjudul Muallafat Al-Ghazali.Dala buku tersebut, Abdurrahman mengklasifikasikan kitab-kitab yang ada hubungannya dengan karya al-Ghazali dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab yang dapat dipastikan sebagai karya al-Ghazali yang terdiri atas 72 buah kitab. Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai karyanya yang asli terdiri atas 22 kitab. Ketiga, kelompok kitab yang dapat dipastikan bukan karyanya, terdiri atas 31 buah kitab.[9]

Mengenai kitab-kitab yang ditulis oleh al-Ghazali meliputi bidang ilmu yang populer pada zamannya, di antaranya tentang tafsir al-Qur’an, ilmu kalam, ushul fiqh, fiqih, tasawuf, mantiq, falsafat, dan lainnya.

a.    Ihya Ulum Ad-Din (membahas ilmu-ilmu agama)

Ini merupakan kitab paling terkenal yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara syam, Yerussalem, Hijaz dan Yus, dan yang berisi paduan indah antara fiqh, tasawuf dan falsafat, bukan saja terkenal di kalangan kaum muslimin, tetapi juga di dunia Barat dan luar Islam.

b.    Tahafut al-Falasifah (menerangkan pendapat para filsuf ditinjau dari segi agama).

c.    Al-Munqidz min adh-Dhalal (menerangkan tujuan dan rahasia-rahasia ilmu).

Kedua kitab ini , yaitu Tahafut al-Falasifah dan Al-Munqidz min Adh-Dhalal merupakan kitab yang memuat di dalamnya tentang permasalahan adanya peperangan dari kalangan fuqaha dan tasawuf (Ibnu Rusyd), disebabkan sikap al-Ghazali yang menentang para filosof Islam, bahkan ia sampai mengkafirkan dalam tiga hal, yaitu :

                                 i.      Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.

                               ii.      Membatasi pengetahuan Tuhan kepada hal-hal yang besar saja,

                             iii.      Adanya kepercayaan tentang qadimnya alam dan keasliannya.[10]

d.      Al-Iqtashad fi Al-‘Itiqad (inti ilmu ahli kalam),

e.       Jawahir Al-Qur’an (rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Qur’an),

f.       Mizan Al-‘Amal (tentang falsafah keagamaan),

Dalam buku ini, juga menyepakti bahwa persoalan yang tiga hal dalam kitab Tahafut  al-Falasifah dan Al-Munqidz min Adh-Dhalal menjadi kepercayaan orang-orang tasawuf juga. Bahkan dalam bukunya Al-Madhum ‘ala Ghairi Ahlihi, ia mengakui qadimnya alam.

g.      Al-Maqasshid Al-Asna fi Ma’ani Asma’illah Al-Husna (tentang arti nama-nama Tuhan),

h.      Faishal At-Tafriq Baina Al-Islam Wa Al-Zindiqah (perbedaan antara Islam dan Zindiq),

i.        Al-Qisthas Al-Mustaqim (jalan untuk mengatasi perselisihan pendapat).

j.        Al-Mustadhhir,

k.      Hujjat Al-Haq (dalil yang benar),

l.        Mufahil Al-Khilaf fi Ushul Ad-Din (menjauhkan perselisihan dalam masalah ushul ad-din),

m.    Kimiya As-sa’adah (menerangkan syubhat ahli ibadah),

n.      Al-Basith (fiqh),

o.      Al-Wasith (fiqh),

p.      Al-Wajiz (fiqh),

q.      Al-Khulasahah Al-Mukhtasharah (fiqh),

r.        Yaqut At-Ta’wil fi Tafsir At-Tanzil (tafsir 40 jilid),

s.       Al-Mustasfa (ushul fiqh),

t.        Al-Mankhul (ushul fiqh),

u.      Al-Muntaha fi ‘ilmi Al-Jadal (cara-cara berdebat yang baik),

v.      Mi’yar Al-‘ilmi,

w.    Al-Maqashid (yang dituju),

x.      Al-Madnun bihi ’ala Ghairi Ahlihi,

y.      Misykat Al-anwar (pelajaran keagamaan),

z.       Mahku An-Nadhar,

3.      Pemikiran Filsafat Al-Ghazali

a.          Metafisika

Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.

Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.

Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir. Hal ini akan lebih dijelaskan dalam bagian selanjutnya.

b.          Iradat Tuhan

Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.

Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.[11]

Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.[12]

c.         Etika

Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.

Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.

Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.

Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.[13]



4.      Pandangan Al-Ghazali terhadap Filsafat

Mengenai pandangan al Ghazali, para ilmuwan berpendapat bahwa ia bukan seorang filosof, karena ia menentang dan memerangi filsafat dan membuangnya. Tentangan yang di lontarkan al-Ghazali ini tercermin dari bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, yakni sebagai berikut :

”...sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya ..., mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi ..., mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syari’at dan agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan ...”[14]

Jikalau melihat ungkapan di atas, terlihat bahwa al-Ghazali lebih tepat digolongkan dalam kelompok pembangunan agama yang jalan pemikirannya didasarkan pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Apabila memakai sumber lain dari Islam maka sumber-sumber ini hanya dijadikan sebagai alat untuk maksud menghidupkan ajaran-ajaran agama dan untuk membantu menerangi jalan menuju Allah SWT. Hal ini dikuatkan dengan kitabnya Ihya’Ulum Ad-din. Dalam buku Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga diterangkan tentang keremehan pemikiran-pemikiran filsafat. Sehingga apakah mungkin filsafat justru menghukumi atas dirinya sendiri? Al-Ghazali dengan beberapa kali menyatakan, bahwa tujuan penyusunan buku tersebut untuk menghancurkan filsafat dan menggoyahkan kepercayaan orang terhadap filsafat. Dari sinilah, apakah tepat orang yang menetapkan kegagalan filsafat disebut sebagai seorang filosof?.[15]

Dalam bukunya pula yang berjudul Munqiz min al-Dhalal, al-Ghazali mengelompokkan filsosof menjadi 3 (tiga) golongan:

1.    Filosof Materialis (Dhariyyun)

Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu, kosmos ini ada dengan sendirinya.

2.    Filosof Naturalis (Thabi’iyyun)

Mereka adala para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini. Melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta di alam raya ini. Kendatipun demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan Hari berbangkit. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa sebab mereka hanya memuaskan nafsu seperti hewan.

3.    Filosof Ke-Tuhanan (Ilahiyun)

Mereka adalah filosof Yunani, sperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (Materialis dan Naturalis), namun ia sendiri tidak dapat membebaskan diri dari sia-sia kekafiran dan keherodoksian. Oleh karena itu, ia sendiri termasuk orang kafir dan begitu juga al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan pemikiran ini di dunia Islam.

Dalam bidang Ke-Tuhanan, al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl al-bid’at dan kafir. Kesalahan para filosof tersebut diterangkan oleh al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, dan ia membaginya menjadi 20 bahagian, antara lain:

1.         Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini azali,

2.         Membatalkan pendapat mereka bahwa akal ini kekal,

3.         Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allah Pencipta alam semesta dan sesungguhnya alam ini diciptakan-Nya,

4.         Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha Pencipta,

5.         Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya dua Tuhan,

6.         Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat,

7.         Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al-jins dan al-fashl,

8.         Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basith (simple) dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat),

9.         Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya,

10.     Menjelaskan pernyataan mereka tentang al-dhar (kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir),

11.     Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya

12.     Menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam membuktikan bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya,

13.     Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat,

14.     Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak dengan kemauan-Nya,

15.     Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet-planet,

16.     Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang juz’iyyat,

17.     Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu di luar hukum alam,

18.     Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi) yang berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh,

19.     Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang mustahilnya fana (lenyap) jiwa manusia,

20.     Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan dibangkitkan dan yang akan menerima kesenangan dalam surga dan kepedihan dalam nereka hanya roh. [16]

Kemudian al-Ghazali menjelaskan lagi, dari 20 masalah tersebut ada tiga hal yang bisa menyebabkan seorang filosof itu menjadi kafir, antara lain :

b.      Alam semesta dan semua substansi qadim.

Para filosof muslim di kala itu mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab qadimnya Tuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (ada sebab akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman. Alasan dari para filosof itu adalah tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam, keluar dari yang qadim (Tuhan), karena dengan demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam belum ada.

Menurut al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim (tidak mempunyai permulaan atau tidak pernah ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi, paham qadimnya alam membawa pada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya. Tidak diciptakan Tuhan dan ini berarti bertentangan dengan ajaran al-Qur’an yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya). Bagi al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam ada di samping adanya Tuhan.[17] 

Al-Ghazali juga menjawab argumen filosof-filosof mulsim itu. Katanya; tidak ada halangan apa pun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya yang qadim pada waktu diadakan-Nya. Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang belum dikehendaki-Nya. Iradah menurut al-Ghazali adalah suatu sifat bagi Allah berfungsi membedakan (memilih) sesuatu dari lainnya yang sama. Jika tidak demikian fungsinya, tentu bagi Allah cukup saja dengan sifat qudrat. Akan tetapi, karena sifat qudrat antara mencipta dan tidaknya sama kedudukannya, harus ada suat sifat khusus yang membedakannya, yaitu sifat iradah. Andaikata para filosof Muslim menganggap sifat tersebut tidak tepat disebut sebagai iradah, dapat diberi nama lain asal itu yang dimaksud atau dengan arti sama. Sekedar istilah tidak perlu diperdebatkan, yang penting adalah isinya.[18]

Apakah yang menjadi landasan berpikir al-Ghazali sehingga mengatakan bahwa alam itu tidak qadim dan Tuhan yang qadim. Kerangka filosofis yang ia tawarkan adalah titik tolak yang benar dan ortodoks harus diawali dengan mengakui Tuhan sebagai wujud tertinggi dan kehendak unik yang bertindak secara aktual. ”Prinsip Pertama adalah Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Berkehendak. Ia bertindak sekehendak-Nya dan menentukan sesuatu yang ia kehendaki; ia menciptakan semua makhluk dan alam sebagaimana ia kehendaki dan dalam bentuk yang Dia kehendaki”.[19]

Sebenarnya perbedaan yang terjadi pada al-Ghazali dan tentang qadimnya alam hanya sebuah perbedaan penafsiran antara teolog Muslim dan filosof Muslim. Memang filosof Muslim berkeyakinan bahwa penciptaan dari tiada (nihil) adalah suatu kemustahilan. Dari nihil yang kosong, tidak bisa timbul sesuatu. Hal yang terjadi ialah sesuatu yang diubah menjadi sesuatu yang lain. Justru itu materi asal (al-hayula alula), yang darinya alam ini disusun, mesti qadim. Materi asal ini diciptakan Allah secara emanasi sejak qadim dan tidak di batasi oleh zaman. Oleh karena itu, apa yang diciptakan semenjak qidam dan azali tentu ia qidam dan azali. Justru itu alam ini qidam pula. Interprestasi filosof Muslim ini sudah jelas lebih liberal dari teolog Muslim dan juga dipengaruhi oleh ilmu alam, yakni antara sebab dan musabab tidak ada perbedaan. Allah menciptakan alam semenjak azali, berarti materinya berasal dari energi yang qadim. Sementara susunan materi yang menjadi alam adalah baru. Agaknya, interprestasi ini sejalan dengan ilmu fisika modren.[20]

Menurut ilmu fisika modren, antara energi dan materi tidak bisa lagi ditarik garis pemisah yang tegas, energi dapat berubah menjadi materi dan materi dapat berubah menjadi energi. Dengan kata lain, energi ialah materi yang direnggangkan, sedangkan materi adalah energi yang dipadatkan.[21]

c.       Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyat (hal-hal yang terperinci/kecil) yang terjadi di alam.

Sebuah pemahaman bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (hal-hal yang sifatnya terperinci/kecil), bukanlah sebuah pemahaman yang dianut oleh para filosof Muslim. Sedangkan pemahaman yang banyak digunakan filosof Muslim itu adalah pemahaman yang dianut oleh Aristoteles. Menurut al-Ghazali para filosof Muslim itu mempunyai pemahaman bahwa Allah sebagai Tuhan umat Muslim hanya mengetahui zat-Nya sendiri dan tidak bisa mengetahui yang selain-Nya.

Pendapat para filosof Muslim ini di jawab oleh al-Ghazali. Al-Ghazali mengatakan bahwa para filosof itu telah melakukan kesalahan fatal. Menurut al-Ghazali lebih lanjut adalah sebuah perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat, dalam artian keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Kemudian al-Ghazali memberikan sebuah ilustrasi, bila seseorang berada di sebelah kanan Anda, lalu orang itu berpindah kesebelah kiri Anda, kemudian berpindah lagi kedepan atau kebelakang, maka yang berubah adalah orang itu, bukanya Anda. Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (Esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya itu mengalami perubahan.[22]

Untuk memperkuat argumennya, al-Ghazali mengeluarkan dalil-dalil al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah Maha Tahu segalanya, baik yang besar atau yang kecil.

Dalil pertama:

وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قُرْآنٍ وَلا تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي السَّمَاءِ وَلا أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْبَرَ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

Artinya: ”Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”(Q.S. Yunus: 61)

Dalil kedua :

قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيم

Artinya:”Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?"(Q.S. Al-Hujurat: 16).

Dalam ayat ini jelaslah bahwa Allah Maha Tahu atas segala sesuatu. berbeda dengan Ibnu Rusyd yang mengatakan Tuhan hanya tahu yang universal, bukan perkara yang kecil (partikular).  Tudingan al-Ghazali ini berbentuk sebuah ucapan seperti di bawah ini :

Yang menjadi persoalan adalah pernyataan mereka (para filsafat) ”Tuhan yang Mahamulia mengetahui hal-hal yang bersifat universal, tetapi tidak hal-hal yang bersifat partikular” pernyataan ini jelas-jelas telah menyelewengkan dalil-dalil di atas, ini menunjukkan ketidakberimanannya mereka. Maka yang benar adalah ”tidak ada sebutir atom pun di langit maupun di bumi yang luput dari pengetahuan-Nya.” [23]

Kalau dilihat pendapat Ibnu Rusyd maka akan berlawanan, menurut Ibnu Rusyd; pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan juz’i (parsial) dan kully (umum). Juz’i adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan pancaindera. Kully, mencakup berbagai jenis (nu’). Kully bersifat abstrak, hanya dapat diketahui melalui akal. Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat pancaindera untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itu, kata Ibnu Rusyd, tidak ada para filosof muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz’i dan kully.[24]

d.      Pembangkitan Jasmani Tidak Ada.

Banyak dari para filosof berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan nantinya di alam akhirat adalah rohani semata, sedangkan jasmani (jasad) akan hancur. Maka dari itu, ketika di akhirat nanti, tentang adanya kebahagiaan ataupun kepedihan di sana yang dapat merasakan adalah rohani. Sedangkan jasmani (jasad) merasakan kebahgiaan dan kepedihan hanya saat di dunia saja.

Kesesuaian suasana rohani maka ketika dibangkitkan nanti saat di akhirat bersifat rohani pula. Akan tetapi, kebangkitan jasmani tidak sampai ke akhirat atau dikembalikan. Dalam mengulas alasan-alasan, mereka mengemukakan bahwa pengembalian jasad memiliki tiga kemungkinan. Pertama, manusia terdiri atas badan dan kehidupan, ini sama halnya seperti dikatakan oleh sebagian ulama kalam, sedangkan jiwa berdiri dengan sendirinya dan yang mengatur badan tidak ada wujudnya. Pengertian mati berarti terputus hidup, yakni Tuhan tidak lagi menciptakan hidup, oleh karena itu hidup ini tidak ada, dan badan tidak ada pula. Jadi, arti kebangkitan adalah bahwa Tuhan mengembalikan badan yang sudah tidak ada karena mati kepada wujudnya, dan mengembalikan hidupnya yang sudah tidak ada. Dalam perkataan lain, badan manusia setelah menjadi tanah dikumpulkan dan disusun kembali menurut bentuk manusia dan diberikan hidup kepadanya. Kedua, atau dikatakan bahwa jiwa (roh) manusia tetap wujud sesudah mati, tetapi badan yang pertama (yang terjadi di dunia ini) nantinya dikembalikan lagi dengan anggota-anggota badannya sendiri dengan lengkap. Ketiga, atau dikatakan, jiwa manusia dikembalikan kepada badan, baik badan dengan anggota-anggotanya yang semula ataupun badan yang lain samasekali. Jadi, yang dikembalikan ialah manusianya, sebab badannya (bendanya) tidak terpenting, sedangkan manusia disebut karena jiwanya (rohnya), bukan karena bendanya (badannya).[25]

Atas dasar ini, para filosof muslim ini berpendapat bahwa mustahil mengembalikan rohani kepada jasad ketika keduanya telah berpisah. Menurut mereka, setelah berpisah antara roh dengan jasad, berarti kehidupan  telah berakhir dan tubuh menjadi hancur. Penciptaan kembali berarti penciptaan baru yang tidak sama dengan yang berlalu. Pengandaian hal ini berarti mengimplikasikan qadimnya suatu hal dan baharunya hal yang lain. Akan tetapi, jika diandaikan terjadi kebangkitan jasad, maka akan menempuh jalan yang sulit dan membutuhkan pemikiran yang panjang, seperti adanya manusia pincang, manusia buta, dan lainnya. Kalau ini yang terjadi maka di surga nantinya akan ada sidat kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua tubuh atau sebaliknya. Sesungguhnya di surga yang suci tidaklah demikian. Jika demikian terjadilah proses  yang panjang, seperti panjangnya proses kapas hingga menjadi kain.[26]

Menurut al-Ghazali, berdasarkan gambaran al-Qur’an dan al-Hadits Nabi Muhammad SAW. Tentang kehidupan di akhirat bukanlah mengacu pada kehidupan rohani saja. Tetapi pada kehidupan rohani dan jasmani. Jasad dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup di dunia untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat rohani-jasmani. Kehidupan di surga dan neraka yang bersifat rohani-jasmani itu, menurut al-Ghazali, bukanlah kehidupan di surga dan neraka bersifat rohaniah saja, menurut al-Ghazali adalah pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan jasad di hari akhirat. Pemahaman demikian, menurutnya bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh al-Qur’an dan al-Hadits, karena itu dikufurkannya. Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan itu adalah jasmani. Ini terbukti dengan perkataannya :

”... adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan seorang Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman itu pun akan bersifat spritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat spritual karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara salah, mereka menolak adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka nyatakan itu.”[27]

Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga mengatakan; banyak hadits yang mengatakan bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan atu siksa kubur dan lainnya. Semua ini sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa. Sedangkan kebangkitan jasmani secara eksplisit telah ditegaskan dalam syara’, yakni berarti jiwa dikembalikan pada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain, atau tubuh yang baru dijadikan. Ini dikarenakan tubuh manusia dapat berganti bentuk, seperti dari kecil menjadi besar, kurus menjadi gemuk, dan seterusnya. Namun, hal yang terpenting ada satu tubuh berbentuk jasmani yang dapat merasakan kepedihan dan kebahagiaan. Allah Mahakuasa menciptakan segala sesuatu. dan dengan KeMahakuasaan-Nya tidak merasa sulit bagi-Nya  menjadikan setetes sperma menjadi aneka macam organ tubuh, seperti tulang, daging, kulit, urat saraf, otoit, lemak, dan sebagainya. Dari hasil ini detik berganti menit, menit berganti jam, dan jam berganti hari. Akhirnya menjadi mata, gigi, perasaan yang berbeda antara setiap manusia. Justru itu, Allah jauh lebih mudah mengembalikan rohani pada badan (jasmani) di akhirat ketimbang penciptaan-Nya pertama kali.[28]

Sungguh pertentangan antara al-Ghazali dengan filosof Muslim kalau di kaji secara mendalam, maka pertentangan tersebut hanya sebuah perbedaan Interprestasi  karena bedanya titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog al-Asy’ari, ia aktif mengembangkan Asy’arisme selama delapan tahun (1077-1085) pada Universitas Nizhamiyah Baghdad, tentu saja pemikirannya dipengaruhi oleh aliran ini, yakni dengan kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan interprestasinya tidak seliberal para filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof Muslim dipengarhui oleh pemikiran rasional, tentu saja interprestasi mereka lebih liberal dari al-Ghazali. Namun, antara kedua pihak sependapat bahwa di akhirat nanti ada kebangkitan.[29]

e.       Pandangannya terhadap Ilmu

Ilmu merupakan sumber kebutuhan bagi setiap manusia, karena tanpa ilmu manusia akan bodoh dan tidak mengetahui arah hidup dalam prikehidupan. Sebagai seorang ilmuwan besar, Al-Ghazali berupaya membuat sebuah karya-karya tulis yang bersifat memotivasi seseorang untuk selalu menggali ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama. Di dalam karyanya al-Ghazali yang berjudul Ihya Ulum Ad Din yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama. Ini merupakan sebuah karya al-Ghazali yang banyak dipakai oleh para ulama-ulama kalam sebagai bahan kajian untuk amalan-amalan baik manusia. Karena di dalam buku itu banyak menjelaskan tentang ilmu-ilmu keagamaan Islam, ke-Esaan Allah, dan ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan syari’at.

 Pada karyanya yang lain, dan juga terkenal di tengah masyarakat yang berjudul Al Munqiz min Ad Dhalal Al-Ghazali berpendapat bahwa :

”ilmu hati merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu manusia, karena ada dua alam, yakni alam lahir dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu (pengetahuan) menguasai ilmu lahir dengan analisa dan keterangan, maka harus ada ilmu khusus untuk menjelaskan ilmu bathin. Pengetahuan-pengetahuan itu sendiri ada dua, yaitu inderawi dan sufi (lahir dan bathin). Sarana untuk mengenal pengetahuan-pengetahuan lahir adalah panca indera, sedang metoda untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan bathin harus kembali kepada mereka (kaum sufi) yang mengatakan bahwa kesederhanaan, zuhud, dan amal-amal praktis seluruhnya adalah jalan untuk mempersepsi berbagai realitas yang tersembunyi dan ilham yang melampaui penglihatan dan pendengaran. Maka ma’rifat adalah tujuan yang luhur bagi tasawuf. Al-Ghazali menentang kesatuan antara manusia dengan Tuhan (teori Al Ijtihad) karena bertentangan dengan ajaran agama.”[30]

Di lain karyanya yang berjudul The Juwels of the Qur’an (mutiara al-Qur’an) dan Mizan Al-Amal (timbangan amal), al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi empat bagian :

1.      Pembagian ilmu-ilmu menjadi bagian teoritis dan praktis.

2.      Pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan pengetahuan yang dicapai (hushuli).

3.      Pembagian atas ilmu-ilmu religius (sya’iyyah) dan intelektual (aqliyah).

4.      Pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu fardhu’in (wajib atas setiap individu) dan fardhu kifayah (wajib atas umat).

Di antara empat hal dari klasifikasi ilmu di atas yang telah diuraikannya, yang paling luas di bahas olehnya dalam melakukan pengajaran/diskusi adalah pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu intelektual dan religius. Namun menurutnya, yang jelas keempat sistem klasifikasi di atas sangat absah, dan mempunyai derajat yang sama.

Kalau dilihat pemikiran dari al-Ghazali, maka akan terlihat pendapatnya yang banyak menentang aliran-aliran filsafat. Menurutnya banyak orang-orang yang menyimpang dari ajaran agama saat mempelajari filsafat, karena kebanyakan manusia di saat mempelajari filsafat tanpa sebuah pegangan yang kuat atau dasar yang kuat. Filsafat menurutnya lebih banyak mengedepankan akal daripada dalil untuk mencari sebuah kebenaran. Oleh sebab itu, al-Ghazali banyak dikenal oleh para masyarakat seorang ahli tasawuf, akan tetapi ia tidak melibatkan dirinya kedalam aliran tasawuf yang terkenal saat itu, yakni tasawuf inkarnasi dan tasawuf pantheisme. Sedangkan pengetahuan yang dimiliki oleh al-Ghazali berdasarkan atas rasa yang memancar dalam hati, bagaikan sumber air yang bersih/jernih, bukan dari penyelidikan akal, dan tidak pula dari hasil argumen-argumen ilmu kalam.[31]       

C.           Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Al-Ghazali adalah seorang teolog sekaligus seorang pemikir Islam yang banyak menyumbangkan pikirannya sampai ke generasi sekarang.

Al-Ghazali mengktitik para filosof tentang tiga persoalan tentang kekeliruan para filosof yaitu; (1) Bahwa materi dapat merusak sedangkan jiwa tidak, karena materi adalah entitas material yang terpisah dan hanya jiwa yang abadi yang karena inilah esensi logos yang merupakan ruh (2) Menolak klaim bahwa pengetahuan yang khusus berubah jelas mungkin. Tuhan tidak mungkin berubah, dan (3) Al-Ghazali mengatakan tidak ada satu kasus pun yang tidak abadi,mulai dari yang abadi.

DAFTAR  PUSTAKA

Al-Ghazali, Mukasyafatul Qulub (Rahasia Ketajaman Mata Hati), Surabaya: Terbit Terang, t.t

----------------, Al-Munqiz min al-Dhalal, terj. Abdullah bin Nuh, Jakarta: Tinta Mas, 1960

----------------, Al-Munqiz min al-Dhalal, terj.Abdullah bin Nuh, Jakarta: Tinta Mas, 1960

-----------------, lihat “Muqaddimah” kitab Tahafut Al-Falasifah, Tahkik Sulaiman Dunya, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1928

Ahmad, Zainal Abidin, Riwayat Hidup Al-Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, 1975

A. Hanafi, Antara Imam Al-Ghazali dan Imam Rusyd Dalam Tiga Metafisika, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1981

Abdullah, M. Amin, Studi Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996

A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1999

Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986

Nasution, Harun,  Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: Universitas Indonesi, 1983

Rusyd, Ibnu,  Tahafut al-Tahafut, Tahkik, Sulaiman Dunya, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1971

Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof dan Ajarannya, Bandung: Pustaka Setia, 2009

Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung: CV ROSDA, 1988

Zar, Sirajuddin,  Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004

[1] Al-Ghazali, Mukasyafatul Qulub (Rahasia Ketajaman Mata Hati), (Surabaya: Terbit Terang, t.t), hal. Vii

[2] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999),  hal. 215

[3] Mu’askar adalah suatu lapangan luas di dekat Kota Naishabur yang di dalamnya didirikan barak-barak militer oleh Nizam al-Muluk.

[4] Ibid.

[5] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 40.

[6] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2009) hal.148

[7] Ibid.

[8] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali…,  hal.10

[9] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal.97

[10]  H. A. Mustofa berpendapat, berdasarkan kutipan dari Kitab Al Munqids min Ad Dhalal al Ghazali, ia berpendapat bahwa: “ilmu hati merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu manusia, karena ada dua alam, yakni alam lahir dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu (pengetahuan) menguasai ilmu lahir dengan analisa dan keterangan, maka harus ada ilmu khusus untuk menjelaskan ilmu bathin. Sarana untuk mengenal pengetahuan-pengetahuan lahir adalah panca indera, sedang metode untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan bathin harus kembali kepada mereka (kaum sufi) yang mengatakan bahwa kesederhanaan, zuhud dan amal-amal praktis seluruhnya adalah jalan untuk mempersepsi berbagai realitas yang tersembunyi dan ilham yang melampaui penglihatan dan pendengaran. Maka ma’rifat adalah tujuan yang luhur bagi tasawuf. Al Ghazali menentang kesatuan antara manusia dengan Tuhan (teori Al-Ijtihad) karena bertentangan dengan ajaran agama.” Tulisan ini mempunyai maksud bahwa; al Ghazali memberikan jalan kepada para pemikir baik filosof, teologi, dan para sufi di kala itu, agar kembali kepada ajaran agama yang kukuh. Lihat, H. A. Mustofa., Filsafat Islam …, hal.221

[11] Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: CV ROSDA, 1988), hal. 172.

[12] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 176

[13] M. Amin Abdullah, Studi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal.280.

[14] Al-Ghazali, lihat “Muqaddimah” kitab Tahafut Al-Falasifah, Tahkik Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1928), hal.1

[15] H. A. Mustofa., Filsafat Islam … , hal.215

[16] Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah …, hal. 86-87

[17] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam ..., hal. 162

[18] A. Hanafi, Antara Imam Al-Ghazali dan Imam Rusyd Dalam Tiga Metafisika,  (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1981), hal. 29

[19] Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah …, hal. 131

[20] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesi, 1983) , hal. 89

[21] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam … , hlm. 167

[22] Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah …, hlm. 206-207

[23] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam … , hlm.171

[24] Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Tahkik, Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1971),  hal. 700-703

[25]  A. Mustofa, Filsafat Islam … , hlm. 237-238

[26] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam … , hlm. 172

[27] Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dhalal, terj. Abdullah bin Nuh, (Jakarta: Tinta Mas, 1960), hlm. 129

[28] Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut …, hlm. 287-290

[29] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam … , hlm. 173

[30] Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dhalal, terj.Abdullah bin Nuh, ( Jakarta: Tinta Mas, 1960), hal. 205

[31] A. Mustofa, Filsafat Islam … , hlm. 237-238

AHMAD IBN HANBAL DAN IBNU TAIMIYAH PEMBAWA PEMAHAMAN SALAFIYAH DALAM TEOLOGI ISLAM



Oleh : Syafieh, M. Fil. I

A.      Pendahuluan

Aliran mu’tazilah mencapai puncaknya pada masa kepemimpinan khalifah al-Makmun dari Bani Abbas, pada masa itu aliran ini mengkampanyekan pemikiran bahwa “Al-Qur’an adalah mahluk”. Semua rakyat dan ulama’ dipaksa untuk mengikuti pemikiran tersebut, namun ada salah satu ulama’ yang menentang dengan tegas pendapat tersebut, dia adalah imam Ahmad ibn Hanbal. Akibat penentangan tersebut, beliau kerap kali disiksa dan masuk penjara. Pemikiran-pemikiran imam Ahmad Ibn Hanbal kemudian melahirkan sebuah aliran teologi baru yaitu aliran Salaf.

Aliran salaf merupakan aliran yang muncul sebagai kelanjutan dari pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbal yang kemudian pemikirannya diformulasikan secara lebih lengkap oleh imam Ahmad Ibn Taimiyah. Sebagaimana aliran Asy’ariyah, aliran Salaf memberikan reaksi yang keras terhadap pemikiran-pemikiran ekstrim Mu’tazilah

Pada makalah ini akan dibahas dua ulama yaitu Imam Ahmad Bin Hanbali dan Ibnu Taimiyah. Disamping biografi dan riwayat hidup dari dua ulama di atas juga akan dibahas tentang pemikirannya, seperti Imam Ahmad Bin Hanbali yaitu tentang ayat-ayat mutasyabihat dan kemakhlukan al-Qur’an sedangkan Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat allah dan lainnya.

Namun sebelum pembahasan tentang ulama-ulama salaf beserta pemikirannya didalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian salaf itu sendiri.

B.       Pengertian Salaf

Kata salaf secara etimologi dapat diterjemahkan menjadi "terdahulu" atau "leluhur".[1] Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, Salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, para pemuka abad ke-3 H., dan para pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri dari atas para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam.[2]

Sedangkan menurut terminologi terdapat banyak difinisi yang dikemukakan oleh para pakar mengenai arti salaf, diantaranya adalah:

Menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasabbihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (antropomorphisme).[3]

Mahmud Al-Bisybisyi menyatakan bahwa salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk mensucikan dan mengagungkan-Nya.[4]

Asal penamaan Salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada putrinya Fatimah az-Zahra:

 فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ

Artinya: "Karena sesungguhnya sebaik-baik salaf bagi kamu adalah saya".[5]

Pada zaman modern, kata Salaf memiliki dua definisi yang kadang-kadang berbeda. Yang pertama, digunakan oleh akademisi dan sejarahwan, merujuk pada "aliran pemikiran yang muncul pada paruh kedua abad sembilan belas sebagai reaksi atas penyebaran ide-ide dari Eropa," dan "orang-orang yang mencoba memurnikan kembali ajaran yang telah di bawa Rasulullah serta menjauhi berbagai ke bid'ah an, khurafat, syirik dalam agama Islam”.[6]

Berbeda dengan aliran mu’tazilah yang cenderung menggunakan metode pemikiran rasional, aliran salaf menggunakan metode tekstual yang mengharuskan tunduk dibawah naql dan membatasi wewenang akal pikiran dalam berbagai macam persoalan agama termasuk didalamnya akal manusia tidak memiliki hak dan kemampuan untuk menakwilkan dan menafsirkan al-Qur’an. Kalaupun akal diharuskan memiliki wewenang, hal ini tidak lain adalah hanya untuk membenarkan, menela’ah dan menjelaskan sehingga tidak terjadi ketidak cocokan antara riwayat yang ada dengan akal sehat.[7]

Namun dalam penerapannya di kalangan para tokoh aliran ini sendiri, metode ini tidak selalu membuahkan hasil yang sama. Hal ini disebabkan mereka tidak luput dari pengaruh situasi kultural dan struktural pada masanya. Misalnya, di kalangan aliran salaf ada golongan yang disebut al-Hasyawiyah, yang cenderung kepada anthropomorfisme dalam memformulasikan sifat-sifat Tuhan, seperti mereka berpandangan bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang bersifat mutasyabbihat harus difahami menurut pengertian harfiyahnya. Akibatnya ada kesan bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat seperti bertangan, bermuka, datang, turun, dan sebaginya.[8]

W. Montgomery Watt menyatakan bahwa gerakan salafiyah berkembang terutama di Bagdad pada abad ke-13. Pada masa itu terjadi gairah menggebu-gebu yang diwarnai fanatisme kalangan kaum Hanbali. Sebelum akhir abad itu terdapat sekolah-sekolah Hanbali di Jerusalem dan Damaskus. Di damaskus, kaum Hanbali makin kuat dengan kedatangan para pengungsi dari Irak yang disebabkan serangan Mongol atas Irak. Diantara para pengungsi itu terdapat satu keluarga dari Harran, yaitu keluarga Ibn Taimiyah. Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama’ besar penganut imam Hanbali yang ketat.[9]

Aliran salaf mempunyai beberapa karakteristik seperti yang dinyatakan oleh Ibrahim Madzkur sebagai berikut:

1.        Mereka lebih mendahulukan riwayat (naqli) daripada dirayah (aqli)

2.        Dalam persoalan pokok-pokok agama dan persoalan cabang-cabang agama hanya bertolak dari penjelasan al-Kitab dan as-sunnah

3.        Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (Dzat Allah) dan tidak mempunyai faham anthropomorphisme (menyerupakan Allah dengan makhluk)

4.        Mengartikan ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan makna lahirnya dan tidak berupaya untuk mentakwilnya.

Apabila melihat karakteristik yang dikemukakan Ibrahim Madzkur di atas, tokoh-tokoh berikut ini dapat dikatagorikan sebagai ulama salaf, yaitu Abdullah bin Abbas (68 H), Abdullah bin Umar (74 H), Umar bin Abdul  Al-Aziz (101 H), Az-Zuhri (124 H), Ja’farAhs-Shadiq (148 H), dan para imam mazhab yang empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi,i, dan Ahmad bin Hanbal).[10] Menurut Harun Nasution, secara kronologis salafiyah bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal. Lalu ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian disuburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara sporadis.[11]

Bila Salafiyah muncul pada abad ke-7 H, hal ini bukan berarti tercampuri masalah baru. Sebab pada hakikatnya mazhab Salafiyah ini merupakan kelanjutan dari perjuangan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal. Atau dengan redaksi lain, mazhab Hanbalilah yang menanamkan batu pertama bagi pondasi gerakan Salafiyah ini. Atas dasar inilah Ibnu Taimiyah mengingkari setiap pendapat para filosof Islam dengan segala metodenya. Pada akhir pengingkarannya Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengetahui aqidah dan berbagai permasalahannya hukum baik secara global ataupun rinci, kecuali dengan Al-Qur’an dan Sunnah kemudian mengikutinya. Apa saja yang diungkapkan dan diterangkan Al-Qur’an dan Sunnah harus diterima, tidak boleh ditolak. Mengingkari hal ini berarti telah keluar dari agama.[12]

C.      Riwayat Hidup dan Pemmikiran Imam Ahmad Ibn Hambal

1.      Sejarah Singkat Ibnu Hanbal

Ia dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H/780 M dan meninggal pada tahun 241 H/855 M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah satu anaknya bernama Abdillah, namun ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbali karena merupakan pendiri madzhab Hanbali. Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah bin Hindur Asy-Syaibani, bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Anas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban bin Dahal bin Akabah bin Sya’ab bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi Al-Hadis bin Nizar. Di dalam keluarga Nizar Imam Ahmad bertemu keluarga dengan nenek moyangnya Nabi Muhammad Saw.[13]

Ilmu yang pertama beliau kuasai adalah al-Quran sehingga beliau hafal pada usia 15 tahun. Lalu beliau mulai berkonsentrasi belajar Ilmu Hadits pada awal usia 15 tahun pula. Pada usia 16 tahun ia memperluas wawasan ilmu al-Quran dan ilmu agama lainnya kepada ulama-ulama Baghdad. Lalu mengunjungi ulama-ulama terkenal di Khufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekah dan Madinah.[14]

Diantara guru-gurunya ialah Hammad bin Khalid, Ismail bin Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walid bin Muslim, Muktamar bin Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya bin Zaidah, Ibrahim bin Sa’id, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Abdur Razaq bin Humam dan Musa bin Tariq. Dari guru-gurunya Ibnu Hanbal mempelajari ilmu fiqh, hadits, tafsir, kalam, ushul dan bahasa Arab.[15]

Ibnu Hanbal dikenal sebagai seorang yang zahid, teguh dalam pendirian, wara’ serta dermawan. Karena keteguhannya, ketika khalifah Al-Makmun mengembangkan madzhab Mu’tazilah, Ibnu Hanbal menjadi korban mihnah (inquisition).[16] karena tidak mengakui bahwa Al-Quran adalah makhluk. Akibatnya pada masa pemerintahan Al-Makmun, Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq ia harus mendekam dipenjara. Namun setelah Al-Mutawakkil naik tahta Ibnu Hanbal memperoleh kebebasan, penghormatan dan kemuliaan.[17]

2.      Pemikiran Teologi Imam Ahmad Ibn Hanbal

a.      Tentang Ayat-ayat Mutasyabihat

Dalam memahami ayat Al-Quran Ibnu Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil. Dengan demikian ayat Al-Quran yang mutasyabihat diartikan sebagaimana adanya, hanya saja penjelasan tentang tata cara (kaifiat) dari ayat tersebut diserahkan kepada Allah SWT. Ketika beliau ditanya tentang penafsiran surat Thaha ayat 5 berikut ini :

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

 

Artinya: yaitu yang Maha Pengasih Yang Bersemayam di atas Arsy (Q.S. Thaha:5) [18]

Dalam hal ini, Ibnu Hanbal menjawab :

 إِسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ كَيْفَ شَآءَ وَكَمَا شَآءَ بِلاَ حَدٍّ وَلاَصِفَةٍ يُبْلِغُهَا وَاصِفٌ

Artinya: Istiwa di atas Arasy terserah kepada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorang pun yang sanggup menyifatinya.[19]

Dan dalam menanggapi Hadits nuzul (Tuhan turun ke langit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan di akhirat), dan hadits tentang telapak kaki Tuhan, Ibnu Hanbal berkata: “Kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya”.[20]

Dari pernyataan di atas tampak bahwa Ibnu Hanbal bersikap menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadits mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya serta tetap mensucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk. Ia sama sekali tidak menakwilkan pengertian lahirnya.

b.      Tentang Status Al-Quran

Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal, yang kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali, adalah tentang status al-Qur’an, apakah diciptakan (mahluk) yang karenanya hadits (baru) ataukah tidak diciptakan yang karenanya qodim? Faham yang diakui oleh pemerintah, yakni Dinasti Abbasiyah dibawah kepemimpina khalifah Al-Makmun, al-Mu’tasim, dan al-Watsiq, adalah faham Mu’tazilah, yakni al-Qur’an tidak bersifat qodim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya qodim disamping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, sedangkan menduakan Tuhan adalah Syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan.

Ibnu Hanbal tidak sependapat dengan faham tersebut di atas. Oleh karena itu, ia kemudian diuji dalam kasus mihnah oleh aparat pemerintah. Pandangannya tentang status Al-Qur’an dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Irak:

Ishaq bertanya         :  Bagaimana pendapatmu tentang Al-Qur’an?

Ahmad bin Hambal :  Ia adalah kalam Allah.

Ishaq                        :  Apakah ia makhluk?

Ibn Hambal             :  Ia adalah kalam Allah, aku tidak menambahnya lebih dari itu.

Ishaq                       : Apakah arti bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha                                                     Melihat?

Ibn Hambal              : Itu seperti apa yang Dia sifatkan kepada diri-Nya.

Ishaq                        : Apakah maksudnya?

Ibn Hambal          : Aku tidak tahu, Dia seperti apa yang Dia sifatkan kepada  diri- Nya.[21]                             

Ibn Hanbal, berdasarkan dialog diatas, tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan Rasul-Nya. [22]

Bagi Ahmad bin Hanbal, iman adalah perkataan dan perbuatan yang dapat berkurang dan bertambah, dengan kata lain iman itu meliputi perkataan dan perbuatan, iman bertambah dengan melakukan perbuatan yang baik dan akan berkurang bila mengerjakan kemakiatan. [23]

D.      Riwayat Hidup dan Pemikiran Ibn Taimiyah

1.      Riwayat singkat Ibn Taimiyah

Nama lengkapnya Ahmad Taqiyudin Abu Abbas bin Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim bin Abdissalam bin Abdillah bin Abi Qasim Al Khadar bin Muhammad bin Al-Khadar bin Ali bin Abdillah. Nama Taimiyah dinisbatkan kepadanya karena moyangnya yang bernama Muhammad bin Al-Khadar melakukan perjalanan haji melalui jalan Taima’. Sekembalinya dari haji, ia mendapati isterinya melahirkan seorang anak wanita yang kemudian diberi nama Taimiyah. Sejak saat itu keturunannya dinamai Ibnu Taimiyyah sebagai peringatan perjalanan haji moyangnya itu.[24]

Ibnu Taimiyah dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qa’dah tahun 729 H. Ibnu Taimiyah merupakan tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak pada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud serta seorang panglima dan penetang bangsa Tartas yang pemberani. Ia dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir (Ahli tafsir Al-Quran berdasarkan hadits), faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan yang luas tentang filsafat.[25]

Ibn taimiyah terkenal sangat cerdas sehingga pada usia 17 tahun ia telah dipercaya masyarakat untuk memebrikan pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara resmi. Para ulama merasa sangat risau oleh serangan-serangannya serta iri hati terhadap kedudukannya di istana gubernur damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran ibn taimiyah sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan oleh lawan-lawannya bahwa pemikiran Ibn Taimiyah sebagai klenik, antropomorpisme sehingga pada awal 1306 M ibn taimiyah dipanggil ke Kairo kemudian dipenjara.

2.      Pemikiran Teologi Ibnu Taimiyah

Pemikiran Ibnu Taimiyah seperti dikatakan Ibrahim Madzkur, adalah sebagai berikut:

a.         Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits)

b.        Tidak memberikan ruang gerak kepada akal

c.         Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama

d.        Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in)

e.         Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.[26]

Ibnu Taimiyah mengkritik Imam Hanbali yang mengatakan bahwa kalamullah itu qadim, menurut Ibnu Taimiyah jika kalamullah qadim maka kalamnya juga qadim. Ibnu taimiyah adalah seorang tekstualis oleh sebab itu pandangannya oleh Al-Khatib Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim Allah (antropomorpisme) yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Oleh Karen itu, Al-Jauzi berpendapat bahwwa pengakuan ibn Taimiyah sebagai Salaf perlu ditinjau kembali.[27]

Berikut ini merupakan pandangan Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah :[28]

1.        Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang disampaikan oleh Allah sendiri atau oleh Rasul-Nya. Sifat-sifat dimaksud adalah:

a.    Sifat Salabiyyah, yaitu qidam, baqa, mukhalafatul lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi dan wahdaniyyat.

b.    Sifat Ma’ani, yaitu : qudrah, iradah, ilmu, hayat, sama’, bashar dan kalam.

c.    Sifat khabariah (sifat yang diterangkan Al-Quran dan Al-Hadits walaupun akal bertanya-tanya tentang maknanya), seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah ada di langit; Allah di Arasy; Allah turun ke langit dunia; Allah dilihat oleh orang yang beriman di surga kelak; wajah, tangan, dan mata Allah.

d.   Sifat Idhafiah yaitu sifat Allah yang disandarkan (di-Idhafat-kan) kepada makhluk seperti rabbul ‘alamin, khaliqul kaun dan lain-lain.

2.        Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan seperti Al-Awwal, Al-Akhir dan lain-lain.

3.        Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:

a.       Tidak mengubah maknanya kepada makna yang tidak dikehendaki lafad (min ghoiri tashrif/ tekstual)

b.      Tidak menghilangkan pengertian lafaz (min ghoiri ta’thil)

c.       Tidak mengingkarinya (min ghoiri ilhad)

d.      Tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi dengan indera (min ghairi takyif at-takyif)

e.       Tidak menyerupakan (apalagi mempersamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya (min ghairi tamtsili rabb ‘alal ‘alamin).[29]

Berdasarkan alasan diatas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat. Menututnya, ayat atau hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakan-Nya dengan Makhluk., dan tidak bertanya-tanya tentangnya.

Dalam masalah perbuatan manusia Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal:

a.    Allah pencipta segala sesuatu termasuk perbuatan manusia.

b.    Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.

c.    Allah meridhai pebuatan baik dan tidak meridlai perbuatan buruk.

Dalam masalah sosiologi politik Ibnu Taimiyah berupaya untuk membedakan antara manusia dengan Tuhan yang mutlak, oleh sebab itu masalah Tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang mustahil.[30]

Dikatakan oleh Watt bahwa pemikiran Ibn Taimiyah mencapai klimaksnya dalam sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi. Masalah pokoknya terletak pada upayanya membedakan manusia dengan Tuhan yang mutlak. Oleh sebab itu masalah Tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang mustahil.[31]

E.       Perkembangan Salafiyah di Indonesia

Perkembangan salafiyah di Indonesia di awali oleh gerakan-gerakan persatuan Islam (persis), atau Muhammadiyah. Gerakan-gerakan lainnya, pada dasarnya juga dianggap sebagai gerakan ulama salaf, tetapi teologinya sudah di pengaruhi oleh pemikiran yang dikenal dengan istilah logika. Sementara itu, para ulama yang menyatakan diri mereka sebagai ulama salaf, mayoritas tidak menggunakan pemikiran dalam membicarakan masalah teologi (ketuhanan).

Dalam perkembangan berikutnya, sejarah mencatat bahwa salafiyah tumbuh dan berkembang pula menjadi aliran (mazhab) atau paham golongan, sebagaimana Khawarrij, Mu’tazilah, Maturidiyah, dan kelompok-kelompok Islam klasik lainnya. Salafiyah bahkan sering dilekatkan dengan ahl-sunnah wa al-jama’ah, di luar kelompok Syiah.

F.       Kesimpulan

Salaf bukanlah suatu “harakah”, bukan pula manhaj hizbi (fanatisme golongan), dan bukan pula manhaj yang mengajarkan taklid, kekerasan. Tetapi manhaj Salaf adalah ajaran Islam sesungguhnya yang dibawa oleh Nabi SAW dan difahami serta dijalankan oleh para salafush-shalih-radhiyalahu ‘anhum, yang ditokohi oleh para sahabat, kemudian oleh para Tabi’in dan selanjutnya Tabi’i Tabi’in.

Imam Hanbali adalah salah seorang tokoh ulama salaf yang mempunyai ciri khas dalam pemikirannya yaitu lebih menerapkan pendekatan Lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil, kemudian beliau menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadits mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kemudian ulama salaf lainnya adalah Ibnu Taimiyah, Ibnu Taimiyah merupakan tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak leluasa pada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, zuhud, serta seorang panglima dan penentang bangsa Tartas yang berani. Ibnu Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat- ayat mutasyabihat. Menurutnya, ayat atau Hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan cacatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakanNya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangNya.

DAFTAR PUSTAKA

Asy Syak’ah, Mustofa Muhammad, Islam Tidak Bermazhab, Jakarta: Gema Insani, 1994

Abbad, Sirajudin, I’tiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyyah,1987

Dasuki, Hafisz, Ensiklopedi Islam, Jilid.V cet. 1, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993

Depad RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Al-Hikmah, Bandung: Diponegoro, 2007

Fauzi, Ahmad,  Ilmu Kalam (sebuah pengantar), Cirebon: STAIN Press

Ghazali, Adeng Muhtar, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2003

Mustopa, Mazhab-Mazhab Ilmu Kalam, Cirebon: Nurjati IAIN _publisher, 2011

Nasir. Sahilun A., Pemikiran Kalam (Teology Islam ), Jakarta: Rajawali Pers. 2010

Razak, Abdur dan Anwar, Rosihan,  Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006, cet ke-2

Saad, Thablawy Mahmud, At-Tashawwuf fi Turasts Ibn Taimiyah, Mesir: Al-hai Al-Hadis Al-Mishriyah Al-Ammah li Al-Kitab, 1984

Yusuf, Abdullah, Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat, Bandung: Sinar Baru, 1993

Watt, W. Montgomerry, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. Terj. Hartono Hadi Kusumo, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990

http://id.wikipedia.org/wiki/Salaf,  diakses pada tanggal 21 April 2013

[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Salaf, di akses tanggal 21 April 2013

[2]Thablawy mahmud Saad, At-Tashawwuf fi Turasts Ibn Taimiyah, (Mesir: Al-hai Al-Hadis Al-Mishriyah Al-Ammah li Al-Kitab, 1984), hal. 11-38

[3]Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2, hal. 109

[4]Ibid

[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Salaf,  diakses pada tanggal 21 April 2013

[6]http://id.wikipedia.org/wiki/Salafiyah#cite_note-KepelJihad-7, diakses pada tanggal 21 April 2013

[7]Adeng Muhtar Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2003), hal. 101

[8]Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam…, hal. 101-102

[9]Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 109

[10] Ibid, hal. 110

[11] Ibid

[12] Mustofa Muhammad Asy Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, (Jakarta: Gema Insani, 1994), hal. 390

[13]Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 111

[14]Ibid

[15]Hafisz Dasuki, Ensiklopedi Islam, Jilid.V cet. 1, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), hal. 82

[16] Dalam sejarah Islam, mihnah dijalankan oleh pemerintahan Al-Ma’mun untuk menguji keyakinan para ulama Hadits mengenani hakikat Al-Qur’an, apakah diciptakan (makhluk), atau bukan. Menurut Watt, mihnah adalah kebijakan politis yang muncul dari ketegangan antara blok-blok otokratik dan konstitusionalis. Yang dimaksud dua kelompok yang bertetangan itu adalah tokoh-tokoh ortodoksi yang menyatakan keqadiman Al-Qur’an dan kelompok Mu’tazilah-dengan dukungan khalifah yang berkuasa- yang menyatakan terciptanya Al-Qur’an. Namun, Watt keliru karena hanya melihat kasus mihnah dari sisi politik saja, satu pennilaian yang menditkriditkan Mu’tazilah tanpa melihat sisi lain yang lebih penting, yaitu doorongan misi suci untuk melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Lihat W. Montgomerry Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. Terj. Hartono Hadi Kusumo, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), hal. 61-62

[17]Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 112

[18]Depad RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Al-Hikmah, (Bandung: Diponegoro, 2007), hal.  312

[19]Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 113

[20]Ibid

[21] Sahilun A. Nasir. Pemikiran Kalam (Teology Islam ), (Jakarta: Rajawali Pers. 2010).  hal. 126-127

[22]Abdul Rozak, Rosihon Anwar. Ilmu Kalam ...,  hal. 114

[23] Ahmad fauzi, Ilmu Kalam (sebuah pengantar), (Cirebon: STAIN Press), hal. 99

[24]Sirajudin Abbad, I’tiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyyah,1987),hal.  261

[25]Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 115

[26]Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 116

[27] Ibid

[28] Abdullah Yusuf, Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat, (Bandung: Sinar Baru, 1993), hal. 58-60

[29]Rozak, Ilmu Kalam…, hal. 115

[30]Ibid, hal. 117

[31] Mustopa, Mazhab-Mazhab Ilmu Kalam, (Cirebon: Nurjati IAIN _publisher, 2011),  hal. 58

CARI

 

Random Post


web counter

Test Footer

About